Tentang Karya dan Proses Kreatif; Nicoco Menggugat Mas Pam

Artwork Album Solipsism 0.2 Pamungkas yang sedang hangat dibicarakan.
(Ilustrasi: Official Artwork Album Pamungkas)

Pagi ini saya membaca cuitan sebuah akun bernama Nicoco di Twitter yang mempermasalahkan proses kreatif seorang musisi bernama Pamungkas. Di dalam serial cuitannya, ia menuntut Pamungkas untuk memberikan penjelasan tentang proses kreatif pembuatan sampul album terbarunya. Ia ingin agar musisi tersebut mengakui keterlibatan pihak di luar manajemen Pamungkas dalam proses kreatif tersebut.

Ini adalah sebuah hal baru bagi saya. Baru dan bermanfaat. Sejauh yang saya ketahui, kita melihat karya sebagai sesuatu yang mapan. Makanan yang terhidang di atas meja dan siap dinikmati kapan saja. Kita jarang sekali ambil pusing soal asal bahan baku makanannya, bagaimana mengolahnya, apa saja bumbunya, hingga bagaimana menata di atas piring agar lebih menggugah selera.

Dalam cuitannya, Nicoco memperlihatkan bagaimana Mas Pam meminta ide tentang sampul albumnya lewat media sosial. Kemudian diskusi panjang pun terjadi. Nicoco memberikan contoh-contoh artwork yang menarik menurutnya kepada Pamungkas. Beberapa lama kemudian, album Pamungkas pun diluncurkan. Ada beberapa artwork hasil diskusi dengan Nicoco yang dimasukkan sebagai unsur di dalam sampulnya.

Persoalan muncul karena Pamungkas ketika diwawancara oleh media terkait inspirasi pembuatan sampul album tersebut merespon bahwa semua inspirasi benar-benar hanya dari mendengarkan musik yang ia ciptakan dan tidak ada campur tangan orang lain. Di lain pihak, Nicoco mengklaim bahwa ia memberikan referensi tersebut tanpa sekalipun pernah mendengarkan album Pamungkas yang baru.

Masalah sebenarnya bukan pada artwork yang dimunculkan oleh Pamungkas. Manajemen sudah membayar pemilik karya untuk hak ciptanya. Nicoco lebih menuntut keterusterangan Pamungkas untuk mengakui bahwa ia tidak sendiri di dalam proses kreatif penciptaan sampul album tersebut. Seperti penjelasan soal makanan di atas, tuntutan untuk mengetahui dari mana asalnya bahan baku yang digunakan, cara pengolahan, teknik penataan dan lain-lain harus disampaikan kepada publik.

Hal yang menarik pada bahasan ini adalah, di saat media jurnalistik dalam negeri masih berkutat pada persoalan apakah sebuah tulisan harus diberi by line setelah baris judul atau cukup inisial penulis di akhir tulisan, dunia kesenian sudah sampai pada tahap apakah selain mengapresiasi sebuah karya dan mengenali sang kreator kita juga harus mendalami proses kreatifnya. Sebuah lompatan yang menurut saya sangat maju dibanding media-media kreatif yang lainnya.

Dengan mendalami proses kreatif seorang kreator, kita jadi tahu apakah karya tersebut benar orisinil atau tidak. Pamusuk Eneste pernah menyatakan bahwa proses kreatif merupakan sebuah proses yang dilalui seorang pengarang dalam menghasilkan sebuah karya. Seorang pengarang tidak akan bisa membuat karya sastra seperti puisi atau prosa tanpa melalui tahapan proses penciptaannya seperti pengumpulan ide, pengembangan ide, dan penyempurnaan ide.

Dalam konteks sampul albumnya Pamungkas ini, kita jadi tahu bahwa di tahap pengumpulan dan pengembangan ide, ia banyak terbantu oleh Nicoco sebagai pemberi referensi artwork. Bahkan Nicoco memberi hasil karyanya sendiri untuk dijadikan bahan. Tetapi setelah karyanya selesai, Pamungkas tidak pernah mengakui bantuan tersebut di depan publik.

Tuduhan yang mirip juga pernah terjadi di masa lalu ketika Chairil Anwar dituding melakukan praktik plagiasi lewat puisi “Karawang – Bekasi”. Terhitung ada 16 baris di dalam puisi tersebut yang sama persis dengan “The Young Dead Soldiers” karya Archibald MacLeish. Sebuah puisi yang terbit 7 tahun sebelum “Karawang – Bekasi”.

Tuntutan ekonomi menjadi dasar tuduhan. Karena semua orang tahu, bayaran menerjemahkan atau menyadur puisi lebih murah daripada mengarangnya sendiri. Belum lagi setelah dimuat, bayarannya masih harus menunggu selang beberapa waktu. Perihal ekonomi memang sering membuat para penulis pada jaman itu (bahkan sampai sekarang) harus memutar otak untuk tetap menghasilkan karya sekaligus mempertahankan asap dapur tetap mengepul.

Pembelaan kemudian datang dari H.B. Jassin. Ia mengatakan Chairil tidak melakukan plagiasi. Hanya saja sebagai orang yang sangat mengenal Chairil, Jassin mengatakan karena ingatannya yang sangat kuat, Chairil secara tidak sadar melakukan penyaduran puisi dengan menyusun ulang menurut ciri dan bahasa yang dimilikinya serta disesuaikan dengan kondisi Bangsa Indonesia saat itu. Dan memang jika merujuk pada AACR Second Edition, dituliskan bahwa karya saduran dapat meliputi penulisan kembali, pengadaptasian, pemparafrasean dan pengalih bentukan suatu karya.

Oleh karena itu, Jassin menganggap Chairil hanya melakukan penyaduran dan tidak pernah melakukan praktik plagiat. Sampai hari ini, kita tidak pernah mendapatkan kepastian apakah puisi “Karawang – Bekasi” benar adalah plagiat, atau sekadar saduran. Baik yang Chairil lakukan secara sadar ataupun tidak.

Kembali pada masalah sampul album. Diprotes oleh Nicoco, Pamungkas melakukan pembelaan bahwa yang ia maksud dalam wawancara tersebut adalah inspirasi dan bukan referensi. Oleh karena itu ia harap Nicoco (dan publik) mau mengerti. Baiklah kita coba. Mari kita lihat arti dua kata tersebut di dalam KBBI.

Inspirasi = ilham

Referensi = sumber acuan (rujukan, petunjuk)

Menurut saya pribadi, kata ilham dapat juga bermakna sebagai petunjuk. Referensi juga bisa diartikan sebagai petunjuk. Makna yang sama. Tapi, dengan sedikit permainan kata dapat terlihat berbeda. Kalau melihat dari pembelaan yang dituliskan oleh Pamungkas, ia berusaha agar Nicoco (dan publik) mau menerima bahwa sekalipun referensi untuk pengumpulan dan pengembangan ide berasal dari hasil diskusinya dengan Pamungkas, inspirasi pembuatan sampul album itu tetap berasal hanya dari musiknya sendiri.

Lalu muncul pertanyaan selanjutnya. Apakah tanpa referensi dari Nicoco, Mas Pam yang katanya alumni DKV ini akan dapat membuat sampul albumnya seperti sekarang kalau hanya mendengar musiknya saja? Kalaupun memang semua inspirasi untuk membuat sampul album tersebut berasal dari musik, kenapa artwork yang muncul bisa 100% sama dengan hasil diskusinya? Tidak mungkin kebetulan saja kan?

Sebenarnya solusi yang ditawarkan oleh Nicoco cukup mudah. Pamungkas tinggal mengakui bahwa ia tidak sendirian di dalam proses kreatifnya. Ia dibantu oleh banyak orang. Dan cukup dengan menyebutkan satu persatu orang-orang yang memberikan kontribusi dalam proses kreatifnya, maka masalah akan selesai. Tapi apakah musisi yang hobi banting tulang sejak dini hari ini mau berbesar hati dan melakukannya? Atau memilih menutup mata dan mewariskan arogansi baru untuk pekerja-pekerja kreatif di masa yang akan datang? Mari kita tunggu saja keputusannya.

Penulis :

Loading