Surti – Tejo

Bagaimana jika ternyata cerita yang Anda percayai selama ini ternyata salah?

Siang yang cerah di pengadilan negeri kota A. Hiruk pikuk terlihat dari salah satu ruang sidang. Hakim ketua membuka sidang dengan mengetuk palu sebanyak tiga kali, “Sidang Pengadilan Negeri Kota A, dalam kasus percobaan perkosaan dengan terdakwa atas nama Sutejo dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum”. Hakim ketua kemudian bertanya kepada penuntut umum apakah terdakwa sudah siap dihadirkan pada sidang hari ini. Karena penuntut umum sudah siap menghadirkan terdakwa, maka hakim ketua memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk. Petugas kemudian membawa seorang laki-laki bernama Sutejo ke ruang sidang. Sutejo masuk diiringi teriakan riuh dari peserta sidang. Ia berpenampilan rapi dengan baju koko dan kopiah seperti kebanyakan pesakitan di dalam persidangan. Setelah dipersilakan duduk, hakim ketua mengajukan pertanyaan tentang identitas dan kondisi kesehatan Sutejo.

Hakim kemudian bertanya kepada Sutejo, yang selanjutnya dipanggil Tejo, apakah terdakwa didampingi oleh penasehat hukum. Karena Sutejo tidak didampingi penasehat hukum, maka hakim menegaskan hak terdakwa untuk didampingi penasehat hukum. Hakim lalu memberi kesempatan kepada Sutejo untuk mengambil seorang penasehat hukum. Hal ini tentu saja telah Tejo ketahui sebelum sidang dimulai, tetapi ia memutuskan tidak akan didampingi oleh penasehat hukum. Semua orang termasuk hakim heran dengan keputusan Tejo, tetapi ia tetap teguh ingin maju di persidangan tanpa pengacara.

Jaksa kemudian membacakan surat dakwaannya.

“Dakwaan. Terhadap seorang laki–laki yang bernama Sutejo alias Tejo. Bahwa pada tanggal, bulan, dan tahun tersebut, di pematang sawah terdakwa melakukan tindak pidana mencoba untuk memperkosa seorang perempuan yang bernama Surti secara sadar dan tanpa paksaan dari orang lain.” Jaksa kemudian melanjutkan, “Dan juga telah ditemukan sebuah kain sarung dan kondom yang berdasarkan hasil Lab No. 212/2018 diketahui terdapat sidik jari terdakwa pada alat bukti tersebut. Dan berdasarkan keterangan dari korban pelapor, barang bukti tersebut benar adanya.”

“Perbuatan terdakwa dapat diuraikan sebagai berikut. Berawal dari adanya laporan dari seorang perempuan bernama Surti (korban) kepada penyidik Polres Kota A, bahwa pada tanggal, bulan, dan tahun tersebut di kawasan pematang sawah sekitar Pukul 16.00 korban duduk di pondok bersama terdakwa. Terdakwa langsung membuka seluruh pakaiannya dan mencoba memperkosa korban dengan paksa. Tetapi korban berhasil meloloskan diri dan langsung melapor ke polisi“.

Hakim lalu bertanya kepada Tejo, “Saudara terdakwa, apa saudara mendengar dan memahami setiap kata yang disampaikan oleh Jaksa di dalam surat dakwaannya?“.

“Iya, dengar Pak Hakim. Dan tidak ada yang saya sangkal“, Tejo menjawab tanpa memberi jeda. Apa guna membela diri? Semua orang sudah mengetahui kesalahannya.

Karena tidak ada lagi pembelaan dari Tejo, maka hakim memberikan putusan bahwa Tejo bersalah dan dihukum kurungan 2 tahun penjara dipotong masa tahanan. Sidang kemudian ditutup. Petugas membawa Tejo keluar dari ruangan sidang. Di perjalanan menuju mobil tahanan, Surti muncul dari tengah kerumunan orang. Ia menghampiri Tejo. Namun sebelum Surti berkata–kata, Tejo memalingkan wajah dan terus melangkah. Tak ada lagi yang ingin didengarnya dari Surti.

*

“Jo kamu di kota kerjanya apa?”

“Aku kerja di salon, bantu–bantu. Bantu bersih–bersih, memasak, sekalian belajar sih,“ jawab Tejo

Surti heran mengapa Tejo bekerja di salon. Bukankah selama ini kabar yang ia terima Tejo bekerja sebagai supir di perusahaan? Tapi mengapa sekarang ia bercerita tentang salon?

“Terus Jo, kerja di salon capek ya? Kok kamu kurusan?“ Surti bertanya lagi.

“Ember, Cin. Tapi aku emang diet sih, biar sekalian jaga badan. Tapi tambah ganteng kan?” jawab Tejo.

Surti pun tersenyum sambil memalingkan wajahnya malu-malu, “Ih, amit–amit.“

Keheningan terjadi selama beberapa saat. Surti kemudian memajukan wajahnya untuk mencium Tejo. Tejo menghindar dan mendorongnya. “Surti, jangan ya. Aku nggak bisa.“ Surti kaget dan semakin bingung. “Kenapa Jo? Bukannya di kota anak muda pacarannya seperti ini?“ Tejo berdiri dan menatap ke arah persawahan, “Iya Ti, tapi aku berbeda.”

“Beda bagaimana?” Surti mengejar.

“Ya, beda”

“Iya, beda bagaimana?

“Aku nggak bisa sama kamu. Sejak dulu aku senang melihat cara perempuan berpenampilan, berdandan, berpakaian bagus. Aku senang meniru cara perempuan berjalan, berbicara. Kukira aku hanya senang melihat saja. Tetapi di kota aku melihat hal yang baru. Aku melihat laki – laki berpakaian perempuan. Aku iri melihat betapa cantiknya mereka berbalut pakaian yang mereka kenakan. Aku juga ingin mencobanya. Akupun berkenalan dengan mereka. Aku diterima dengan tangan terbuka di dalam kelompok mereka dan diajarkan untuk menjadi waria. Hari pertama aku melangkahkan kaki ke luar rumah dengan pakaian perempuan adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupku, Ti,” tutur Tejo.

Surti terhenyak mendengarnya.

Tejo melanjutkan, “Akhirnya aku bebas memilih apa yang kusukai. Komunitas itu mengajariku banyak hal tentang nilai kehidupan dan persahabatan. Bahkan ketika majikanku mengetahui aku menjadi waria dan mengeluarkanku dari pekerjaan, komunitas membantu mencarikanku pekerjaan yang baru di salon.”

Rasa malu membuat Surti gelap mata. Ia sudah kadung jatuh cinta pada Tejo dan berniat menyerahkan segalanya. Ia tidak terima mengapa Tejo menolak dan memilih jadi seperti ini. Surti pun nekat merobek bajunya seraya berguling di tanah sambil berteriak minta tolong.

Warga yang datang karena mendengar teriakan Surti kaget dan mulai menyerang Tejo. Setelah menjadi bulan–bulanan warga, ia pun digelandang ke kantor polisi.

Tejo menolak membela diri dan menerima segala putusan dari pengadilan. Biarlah rahasianya tetap aman tersimpan bersama dirinya.




Loading