Jemaah bubar. Satu persatu telah meninggalkan shaf hingga menyisakan Pak Imam, beberapa takmir dan dua anak muda komplek; Baso dan Beddu.

Kebiasaan mereka setelah jum’atan masih betah untuk tetap berdiam di masjid sambil tadaruusan, bermain, berdikusi, atau membincangkan hal-hal yang viral di jagad maya dan nyata.

“Beddu!” panggil Baso sambil terburu-buru menghampirinya.

Beddu tidak menoleh. Sama sekali ia tidak tertarik dengan panggilan sahabatnya. Ia malah menikmati bersandar pada salah satu tiang penyangga masjid.

“Dari tadi dipanggil, coba lihat ini,” kata Baso sambil menunjukkan layar hapenya.

“Apaje? Musuka memang ganggu kesenangannya orang kau, Sappo?” keluh Beddu.

“Viralki Pak Menag. Masa toh? Dia samakan azan dengan gonggongan anjing?”

“Samakan bagaimana?” tanya Beddu heran.

“Bacami coba ini,” Baso menawarkan hapenya ke Beddu.

Dengan setengah hati, Beddu membangkitkan tubuhnya terlepas dari sandaran yang sementara ia nikmati. Kemudian mengambil dan membaca informasi di layar hape yang ditawarkan sahabatnya itu.

Bermenit-menit yang dibutuhkan Beddu untuk membaca informasi tersebut. Ia hanya merespon dengan nada biasa.

“Oh, bukan hal baru ini. Sudah pernah diatur sebelumnya.”

“Santaimu,” kesal Baso. “Baru bagaimana? Ini surat edaran baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama dan pernyataan Pak Menag juga soal ini baru saja viral.”

“Iya. Maksud saya, wacana dan konflik yang diangkat bukan hal baru. Itu pernah ada sebelumnya. Mungkin saja aturan kembali diedarkan karena kondisi kita hari ini membutuhkannya. Sebaiknya kalau melihat informasi dari sumber aslinya langsung, seperti rekaman video pernyataan Pak Menag saat wawancara dan dokumen surat edaran yang dikeluarkan agar tidak salah persepsi dan liar berasumsi.”

“Butuh bagaimana? Ini juga diinformasikan langsung oleh tokoh nasional, mantan menteri kita. Dengan pernyataan seperti yang viral ini, bukankah Pak Menag secara gamblang menista agama?”

“Menista apanya yang kamu maksud, Sappo?

“Bacaki ini tangkapan layar sama berita yang disebar, Sappo,” nada Baso meninggi karena kesal seraya kembali memperlihatkan berita pada layar hapenya. “Jelas-jelas Pak Menag bilang di sini kalau suara azan sama menganggunya dengan gonggongan anjing.”

“Analogiji itu, Sappo.”

“Bah, kutahuji. Tapi masa membandingkan azan yang suci dengan anjing yang merupakan bagian dari najis. Kategori mugalladzah lagi.”

“Begini, Sappo,” terang Beddu sambil membenarkan posisi duduk dan songkoknya yang agak miring. Ia mulai kesal terhadap tudingan sahabatnya yang dianggap terlalu mudah menuduh orang lain menista. “Maksud analogi Pak Menag bukan pada perbandingan dua zatnya, antara azan dan anjing. Tapi pada dampak yang ditumbulkan keduanya yang dianggap mengganggu.”

“Jadi, maksudmu, azan itu menganggu?” Suara Baso kembali meninggi. Bahkan lebih tinggi dari sebelumnya. “ Hati-hatiki bicara, Sappo? Azan inie.”

Beddu mulai terpancing. Perasannya kesal. Ia menatap tajam ke arah sahabatnya yang termakan asumsi liar.

“Awwe, susahnya bicara sama orang makurang pahang. Tidak ada yang membandingkan azan dengan anjing ini. Yang dibandingkan itu soal ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh keduanya jika tidak terkontrol, Sappo.

Baso tidak mau kalah. Ia tetap bersikeras dengan pendapatnya sesuai dengan informasi yang telah ia baca.

“Jelas sekalimije ini. Apalagi?” tuding Baso dengan telunjuk mengarah ke layar hapenya.

Tidak jauh dari mereka, ternyata Pak Imam sudah sedari awal memperhatikan mereka berdua. Bibir kering Pak Imam menorehkan senyum tipis, melihat dan mendengar perdebatan kecil mereka. Tidak mampu menahan diri, Pak Imam mendekat dan mencoba terlibat dalam pembicaraan.

“Kenapaki marah-marah sama Beddu, Nak Baso?”

Baso kaget dengan kedatangan Pak Imam. Dia sedikit grogi di hadapan guru ngajinya.

“Tiii..tidakji, Puang,” jawab Baso sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Sontak Beddu pun segera membetulkan posisi duduknya saat tersadar dengan kehadiran Pak Imam yang berada di tengah mereka.

“Dudukki, Puang,” Beddu mempersilahkan Pak Imam mengambil tempat.

Baru saja Pak Imam mendaratkan pantat di atas lantai masjid, Baso tanpa jeda menyerang dengan tanya.

Tabe, Puang. Kita tahukah pernyataannya Pak Menag yang sementara viral?”

“Oh, soal pengaturan speaker Masjid itu kah, Nak?” tanya Pak Imam balik.

“Iye, Puang. Bagaimana menurutta?

“Tergantung dari cara pandang kita, Nak. Kalau melihat pada penggunaan 2 contoh dan diksi yang dipilih, tentu orang-orang akan menghardik dan menuduh beliau telah melakukan penistaan.”

“Bilang memangka, Beddu. Salahki Pak Menag,” ejek Baso kepada sahabatnya karena merasa mendapatkan pembelaan dari Pak Imam.

“Santaiko, masih ada penjelasan lanjutannya Pak Imam, Sappo.”

Pak Imam hanya kembali tersenyum melihat tingkah mereka.

“Jangan langsung menyimpulkan, Baso. Niat Pak Menag baik. Beliau bermaksud mengatur penggunaan speaker untuk urusan ibadah agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Ini demi menjaga harmonisasi di antara kita.”

“Tapi masa dengan merendahkan suara azan, Puang?”

“Tidak ada yang merendahkan. Orang-orang hanya terlalu fokus sama contohnya, Sappo.”

“Iye,” Pak Imam membenarkan Beddu.

“Mungkin maksud beliau menggunakan analogi tersebut agar mudah ditangkap dan dipahami. Yang ingin disampaikan adalah soal dampak atau gangguan yang ditimbulkan dari keduanya. Tapi sejujurnya, dalam pernyataan langsung beliau saat diwawancara, beliau tidak sama sekali disebutkan kata azan, tetapi suara speaker dari masjid dan musalah. Dan analogi yang digunakan pun bukan hanya soal suara toa dari masjid dan mushallah. Beliau juga menyebutkan pengaturan suara dari rumah ibadah lain dan juga suara mesin.”

“Kenapa pale banyak yang protes soal azan, Puang?” tanya Baso keheranan.

“Karena masyarakat kita langsung tertuju pada panggilan ibadah dengan menggunakan pengeras suara di masjid. Padahal agenda kegiatan lainnya yang dilaksanakan di masjid juga menggunakan itu. Pengajian, zikir jama’ah, tarhim, yasinan, sholawatan, dan lainnya. Coba Nak Baso bayangkan, bagaimana rasanya jika suara azan atau aktivitas ibadah lainnya yang dilakukan secara serentak tanpa pengaturan, sudah pasti akan menganggu dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi nak Baso.”

Kukira syaitanji yang takut dengan suara azan sama isi pengajian, Puang?”

“Mereka tidak takut, tapi terganggu, Nak. Sesuatu yang baik tapi tidak dikemas dengan baik, itu hasilnya juga tidak baik. Edaran mengenai aturan ini, juga bukan pertama kalinya. Pak Menag hanya kembali melanjutkan. Tuntunan penggunaan speaker di masjid, langgar, dan mushallah untuk segala urusan peribadatan pernah diatur juga, tepatnya pada tanggal 17 Juli 1978 melalui Intruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor. KEP/D/ 101/1978. Di tahun 2018 juga dikeluarkan surat edaran yang sama oleh Bimas. Pak Jusuf Kalla juga sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia kerap menyampaikan soal pengaturan penggunaan pengeras suara. Alat pengeras suara atau toa juga baru masuk dan digunakan di Indonesia pada tahun 1960-an dan bukan bagian dari ibadah.”

“Esensi edaran tersebut juga bukan pada pelarangan aktivitas ibadah seperti mengumandangkan azan, melakukan pengajian, dan lainnya melalui pengeras suara, akan tetapi tertuju pada penertiban penggunaannya, termasuk standar volume, waktu, dan durasi. Batas volume diatur pada batas maksimal 100 desibel, waktu dan durasi menyesuaikan jam istirahat. Ini yang dinamakan tenggang rasa terhadap sesama. Bukankah kita juga diminta untuk memuliakan tetangga dan memastikan mereka terhindar dari gangguan kita? Dan bukankah kita diminta untuk menjadi pribadi muslim sebagai potret penerapan Islam yang rahmatan lil alamin? Bukankah begitu, Nak?”

“Dengarki itu, Sappo?” serang Beddu mengingatkan kembali sahabatnya.

Baso tertunduk ke lantai. Masih ada yang mengganggu di pikirannya. Beberapa saat, ia kembali bertanya penasaran.

“Tapi kenapa hanya peribadatan umat Islam yang diatur, Puang? Bukankah Pak Menag dalam wawancara versi lengkapnya tidak hanya menyebut pengaturan suara dari masjid saja, tetapi juga dari rumah ibadah lainnya.”

Pak Imam melanjutkan.

“Sekalipun jika pernyataan beliau sesuai dengan video potongan yang beredar, hanya menyebutkan pengaturan suara dari masjid saja, maka itu pun tetap mewakili. Ada kaidah ushul fiqhi yang mengatakan al-ismu huwa ghairu al-musamma artinya tidak semua kalimat atau redaksi memiliki makna sebatas kalimat yang terbaca. Kalau pun aturan hanya merujuk pada rutinitas agama Islam, maka secara eksplisit, tentu diperuntukkan juga pada penggunaan speaker di semua kegiatan keagamaan. Agama apapun itu.”

“Kenapa bisa?”

“Sebab Kementerian Agama mewadahi semua agama, maka sudah sepatutnya mengawasi dan mengatur semua hubungan antara agama-agama.”

“Kebetulan Islam merupakan agama dengan penduduk mayoritas dan terbesar. Keberadaan masjid sudah tersebar di mana-mana. Bahkan tidak jarang berdekatan. Semua masjid itu memiliki pengeras suara. Kalau tidak diatur, suaranya akan saling bertabrakan dan membuat bising. Maka dari itu, Islam mewakili yang lain.”

“Kenapa tidak sekalian naatur juga Pak Menag itu gongongan anjing, pesta nikah, perayaan tahun baru, knalpot resing, suara mesin atau hal bising lainnya, Puang?

“Hahaha.. sekalian kasi semuami pale urusan sama Pak Menag, Sappo,” sindir Beddu.

“Kebetulan konteks contoh yang kau sebutkan ada samanya. Dan sangat butuh ditertibkan. Pak Menag juga menyebutkan beberapa di antaranya pada video wawancaranya. Semua berpotensi menimbulkan kebisingan dengan pengeras suara. Itulah substansi yang hendak disampaikan. Tapi Nak Baso harus tahu kalau semuanya sudah diatur, hanya saja bukan wewenang Pak Menag yang mengaturnya. Urusan beliau hanya soal yang menyangkut urusan agama.”

Kukira mau juga naatur, sekalianmi, Puang.”

“Haha.. untuk kegiatan pribadi masyarakat atau kelompok tertentu yang melibatkan banyak orang, itu diatur oleh instansi keamanan, yakni kepolisian. Penyelenggara wajib melaporkan agendanya. Penggunaan knalpot resing yang meresahkan pun di bawah wewenang kepolisian. Kalau masih ada yang menggunakan, pihak berwenang sebaiknya meningkatkan kinerja untuk menertibkan mereka.”

“Lalu bagaimana dengan masjid kita, Puang?”

“Sebisa mungkin kita menaati kebijakan ulil amri jika orientasinya pada kemaslahatan bersama. Menciptakan masyarakat yang harmonis.”

 
Penulis :




Loading