Sisi Personal Beijing Connection dan Hal Lain yang Belum Keluar

Satu buah rilisan single, belum bisa mewakili keseluruhan nafas, identitas, karakter musik, hingga bagaimana arah masa depan dari sebuah band.

Walau ada beberapa musisi juga yang hanya dengan satu single, sudah bisa berhasil mencuri perhatian publik. Yang boleh dikata sukses dalam arti keterkenalan yang berdampak pada popularitas.

Tapi, apakah musik segalanya adalah tentang meraih popularitas?

Untuk kokoh pada sebuah capaian integritas, band musti melewati banyak rintangan, ujian dan proses. Rintangan dalam membentuk sebuah kelompok musik bukan hanya datang dari soal bagaimana sama-sama mematangkan musikalitas, bikin musik yang enak hingga mengatasi konflik. Tapi juga tentang menjaga konsistensi di tengah industri musik yang terus berjalan dinamis, penuh kejutan, terus berdatangan pendatang baru, hingga kadang soal untung-untungan.

Beijing Connection. (Foto: dok. band)
Beijing Connection. (Foto: dok. band)

Kali ini, saya akan membahas sebuah band yang bernama Beijing Connection. Namun, saya tidak akan mengulas single perdana dan video klip mereka yang bertajuk “We Should’ve Left Our Hearts In The South Where They First Met” yang baru saja mereka rilis pada 5 Februari 2021 kemarin. Sebab, anda bisa menonton, menikmati, dan memaknai langsung makna dari lagu mereka yang tersebar di berbagai platform putar dan juga di youtube.

Terlebih jika harus mempersoalkan asal usul domisili band ini, sebagaimana yang ramai dibicarakan pada salah satu kolom komentar instagram Hai Online. Sebab, musik bukanlah tentang skat-skat teritori wilayah.

Saya lebih tertarik mengulas Beijing dari sisi personal personilnya. Juga dengan potensi yang mereka miliki untuk mencuri perhatian publik.

( Beijing Connection – We Should’ve Left Our Hearts in The South Where They First Met [M/V] )

Beijing Connection adalah band baru di skena. Namun tidak dengan para personilnya. Rudy Rubiandini yang mengisi bass sekaligus vokal, Adhewans yang bermain gitar, serta Joy Silitonga yang mengisi drum adalah orang-orang yang mengakar di skena musik Kendari dan Makassar.

Rudy Rubiandini
Ia lebih dikenal sebagai mantan penyiar radio. Setelah rehat menyiar dari dua stasiun radio musik swasta di Kendari, ia menjadi laris mendapat panggilan sebagai host di berbagai kegiatan.

Pada beberapa kesempatan membawakan acara musik, saya melihat ia menguasai audiens. Ia pemandu acara yang baik. Ditangannya, host tidak jadi sekadar penghubung antara penampilan talent satu ke talent yang lain. Darinya, host adalah bagian dari talent itu sendiri. Pada selang waktu antara penampilan talent, ia mampu mengisinya dengan jokes dan pengetahuan musik.

Namun, mengantar acara musik dengan bermain musik adalah dua hal yang berbeda.

Suatu ketika, saya pernah berbincang dengannya. Mengulik pengalamannya saat tampil perdana di tanggal 27 November 2020 sebagai vokalis sekaligus basis.

Ia mengaku, saat itu ia betul-betul grogi. Mulai saat sound check hingga tampil, kakinya tidak berhenti gemetar. Garangnya dalam membawakan acara seketika hilang. Dampaknya, ia bermain salah pada beberapa part bass. Juga saat nyanyi sempat lupa sedikit lirik lagu.

Menceritakan itu, ia sangat lepas. Ia tidak malu. Kami malah sama-sama menertawai keadaan. Saya jadi seperti melihat diri sendiri ketika pertama kali tampil sebagai vokalis. Jam terbang tampil di muka umum dengan medium lain bukan jaminan bisa tampil tenang saat bermain musik.

Itu adalah hal wajar. Sebab kematangan di atas panggung tidak bisa diraih dari sekali dua kali manggung. Kalau kita belajar dari Nirvana, sebelum mereka mendapat perhatian publik, terhitung pada era 1987-1988 Nirvana memicu diri dengan melakukan total penampilan sebanyak 24 kali. Pada tahun 1989, mereka terhitung menggilas 100 panggung musik baru bisa mendapatkan kematangan hingga menumbangkan Michael Jakson di tangga nomor 1 billboard dunia.

Adhewans
Saya kurang tahu darimana Adhewans berproses. Namun seingat saya, perdana temu dengannya di sebuah studio rekaman di Kota Kendari pada akhir tahun 2018. Saat itu, saya sedang merampungkan sebuah lagu. Sebelum saya datang, di dalam studio saya melihat Adewans sedang rekaman. Ia berjuang menuntaskan rekaman part-part notasi lagunya.

Sepertinya, itu adalah pengalaman perdananya dalam rekaman. Saya melihat tangannya seperti gemetaran. Berulang-ulang ia mengulang potongan part musik yang sama.

Setelah berbulan-bulan tak mendengar kabarnya, saya lalu kaget dengan prosesnya. Pada sekitar pertengahan tahun 2019, saya membaca ulasan tentangnya di salah satu media alternatif Makassar. Dari ulasan tersebut, saya lalu mencari karyanya, juga penampilan langsungnya di kanal youtube dan instagram.

Senograft, sebuah band yang ia bangun ternyata diperhitungkan di Makassar. Beberapa panggung-panggung berskala kecil hingga besar mereka libas dengan penampilan memukau.

Entah hilang kemana kekakuan yang saya saksikan di studio rekaman saat itu. Bagaimana bisa Adewans dengan waktu cepat bisa segahar itu di atas panggung? Proses apa yang ia lakukan hingga nada-nada postrock yang ia munculkan dari gitarnya, juga dengan karakter suaranya yang unik mampu mengantar Senograft jadi salah satu band yang diperhitungkan di Kota Makassar?

Joy Silitonga
Saya berani bilang bahwa ia adalah salah satu mutiara dalam belantika musik Kendari. Ia lebih dikenal sebagai vokalis band hardcore, Ticket For Famous. Dalam bermusik, Joy adalah pribadi yang multitalenta.

Saya pernah sekali melihat dan merasakan langsung indahnya denting jarinya di atas keyboard. Saat ia membantu Dersana tampil di acara sosial peduli banjir Sulawesi Tenggara pada 15 Juni 2019. Pada moment tersebut, kehadirannya membawa energi kinetik di atas panggung.

Joy tak hanya lantang bernyanyi dan lembut bermain keyboard. Ia juga merupakan mentor seni di beberapa sekolah menengah pertama di Kota Kendari. Selain itu, ia juga ahli dalam menabuh gendang tradisional mengiringi penampilan tari di salah satu sanggar seni Kendari.

Pada perjalanan berkeseniannya, saya melihat Joy sebagai pribadi yang tak pernah puas menggali makna musik dengan terus bermain melalui beberapa instrument. Vokal, keyboard, gendang tradisional, gitar akustik adalah instrument yang ia kuasai.

Tak heran walau mengaku masih agak kaku dalam bermain drum, dengan tabungan notasi musik yang ia miliki, tawaran gabung bersama Beijing yang berbeda dari aliran musik yang pernah ia mainkan, ia terima dan menjalaninya secara mengalir.

Beijing Connection_
 Beijing Connection. (Foto: dok. band)

Kini, tiga karakter yang berbeda itu menyatu dalam sebuah project Beijing Connection. Namun pertanyaannya, apakah ketiga personil di atas serius dalam project BC?

Atau Beijing Connection hanyalah hal sampingan untuk mengisi waktu dalam mengatasi kepenatan masa covid? Sebab dalam press release yang dikirim ke email representasi.id, mereka tulis begini: “Band ini asli produk WFH (Work From Home) dimana saat itu mereka aktif bertemu dan menjalin silaturahmi yang cukup erat selama masa pandemi covid-19.”

Sewaktu awal projectkan ini diwacanakan pada September 2020 dengan diunggahnya lagu berjudul “Antara Spongebob dan Adik Adik Kita di Rumah Nanas” melalui sajian video sekenanya di instagram Rudy, saya adalah orang yang gembira dan menikmatinya.

Dari unggahan itu, saya melihat sebuah kesegaran. Sebuah musik laku jujur yang keluar dari kesungguhan hati dengan tampilan yang sangat urban.

Kapasitas yang mereka miliki saat ini belum semuanya keluar. Dari instagram stories, mereka saat ini aktif mengurung diri untuk terus latihan di studio. Entah kapan akan benar-benar muncul ke permukaan.

Namun di press release yang mereka tebar, mereka memberikan sebuah rencana yang menggantung, “Single ini menjadi langkah awal Beijing connection dalam rencana rilisan mini album dipertengahan tahun 2021 nanti jika situasi bumi sudah membaik.”

Bagaimana jika bumi tidak membaik di pertengahan tahun 2021? Entah itu hanyalah sebuah permainan diksi ataukah pesan yang sengaja disimpan agar bisa menghindar ketika ditagih.

Yang jelas, mereka punya modal sosial yang baik di Kota Kendari dan Kota Makassar. Packagingnya juga enak diliat. Mereka sisa merampungkan album dan ‘bertarung’ di berbagai panggung untuk membuktikan bahwa mereka memang keren sebagaimana packagingnya.

Saat ini lagu mereka sedang dapat ulasan positif di berbagai media. Jika saja mereka berpenuh seluruh, lebih jauh dari musik, mereka bisa jadi simbol baru perwakilan wajah urban Indonesia. Atau minimal simbol wajah urban Sulawesi.

 

Penulis :

Loading