Selaput Dara
Apa yang dimiliki perempuan, selain selaput dara di dalam tubuhnya? Jika selaput itu telah rusak, untuk apa lagi anak dara yang tak bersuami mengangkat kepalanya?
*
Aku pernah perawan. Bertahan cukup lama. 21 tahun. Bukan perkara mudah menjaga selaput dara itu tetap utuh dalam tubuhku. Karena setiap lelaki yang mendekatiku pasti mengincarnya.
“Aku akan tanggung jawab,” seperti itulah kira-kira kalimat pamungkasnya.
Asal tahu saja, aku ini bukanlah sipir yang harus 24 jam menjaga tahanan itu di dalam sana. Aku tidak dilatih bertarung melawan penjahat yang berniat menyusup hingga ke dalam tubuhku. Aku justru dibekali rangsangan yang begitu nikmat untuk dengan mudah diperdaya hingga para penyusup dapat leluasa masuk lebih dalam.
Umurku kini tidak dapat dikatakan muda lagi. Kepala empat rasanya sudah layak dikatakan perawan tua. Tetapi sayangnya aku bukan perawan.
Jika dulu aku dapat menahan diri, mungkin sekarang aku akan bangga dikatakan perawan tua. Setidaknya, aku masih memiliki satu hal berharga di dalam tubuhku yang patut untuk kusombongkan.
Mungkin aku lebih layak disebut ‘barang bekas’. Persetan dengan itu semua. Aku juga akan mengatakan mereka sebagai ‘sampah’. Para lelaki di luar sana. Mereka yang pernah mengeluarkan sperma jahanam pertama dalam tubuh perempuan sepertiku, yang berakibat tak kunjung menikah.
Jika dalam sebuah pertandingan, dia adalah lawanku. Maka akan benar adanya jika aku menyebut pertandingan kami seri. Tak ada menang ataupun kalah. Impas. Lelaki itu merusak selaput darahku, dan aku merebut sperma pertamanya. Impas. Tetapi, mungkin juga tidak. Sepertinya, mereka telah lebih dahulu mengeluarkannya sendiri.
Pada kenyataannya, setelah serangkaian kenikmatan dan penyesalan itu terjadi, hanya aku yang menerima hinaan itu. Hanya aku yang tak kunjung menikah. Hanya aku yang dicap sebagai perempuan yang tidak benar. Sedangkan dia? Manusia tak beradab itu bebas melanglang buana menyombongkan pengalamannya menembus pertahananku.
Dunia ini sungguh adil bagi mereka. Sedangkan bagi perempuan sepertiku, tidak ada kata adil yang pernah kueja selama ini. Mestinya, lelaki juga harus menjaga kepemilikan barang berharga mereka. Sama halnya perempuan. Tetapi, mengapa selalu saja perempuan yang menerima pandangan sebagai ‘barang’ dengan dua kategori, baru dan bekas?
Jika seseorang sudah tidak perawan, maka nilai jualnya akan kurang. Jika seseorang sudah pernah melahirkan dan memiliki anak, maka nilai jualnya akan ikut terpengaruh. Jika seseorang masih perawan, memiliki paras yang cantik, juga pekerjaan tetap apalagi pegawai pemerintahan, maka tak tanggung-tanggung, nilai jualnya akan mengalahkan harga mobil Porsche di luar sana.
Jangan memandangku seperti itu. Aku sudah tidak bernilai jual lagi. Kedua orang tuaku pun menyerahkan urusan jodoh padaku. Entah apakah aku akan menikah, atau melajang seumur hidup. Terserah padaku. Yang mereka tahu, hanya rasa malu berkepanjangan sejak pertunanganku yang gagal.
Rasanya baru kemarin. Ah, penyesalan memang selalu terasa baru. Nyatanya, 24 tahun telah berlalu. Setelah lelaki itu, sebut saja dia El, meninggalkanku seperti sampah. Ia yang bersamaku setelah lima tahun, lantas memutuskanku di satu hari, dan menghilang. Selang satu bulan, dia menampakkan dirinya menggandeng perempuan lain. Saat itu, aku hampir gila. Bisa kau bayangkan, setelah menyerahkan semua harta yang kau miliki pada manusia yang paling kau percaya di muka bumi ini, yang rasanya dia tidak akan pernah meninggalkanmu walau sedetik saja, tapi kenyataannya kau ditipu habis-habisan. Hartamu raib. Dia menghilang. Kau bahkan tidak punya bukti untuk menuntutnya! Calon anggota dewan saja sampai harus bunuh diri setelah perjudian di balik suara yang kalah telak. Sedangkan partai pengusung berpesta dengan pundi-pundi dari kaum yang gagal.
Butuh waktu bertahun-tahun untuk aku bisa menerima kenyataan pahit itu. Sangatlah sulit memperbaiki hati yang telah rusak untuk kembali diisi cinta oleh penghuni baru.
Aku menjadi lebih pemilih. Aku tidak sembarangan menerima cinta dari kaum adam. Mencoba untuk sebisa mungkin tidak mudah jatuh cinta itu juga satu hal yang sulit.
Dan saat itu, aku menjadi penjaga rahasia yang terlatih. Rahasia kelam dalam hidupku ini tidak akan kusampaikan pada siapapun.
Aku memilih pergi. Meninggalkan kota yang menampung masa kelamku. Kendari sangatlah kecil. Jika sepasang telinga mengetahui aibku, maka setiap tembok pasti akan mendengarnya. Aku memutuskan pergi.
Manado menerimaku untuk memulai lembaran baru di hatinya, dan Bunaken teramat baik membantuku bersembunyi dari aib yang selama ini terukir di sekujur tubuhku. Aku memaksa untuk lahir baru. Sekali lagi berani memberanikan diri mengangkat kepalaku. Setelah sekian lama, akhirnya aku kembali menjadi gadis memesona. Bangga dengan tubuh tinggi semampai, berat badan ideal, wajah yang rupawan, dan kini pemegang jabatan penting di perusahaan. Sangat Mustahil jika ada pria yang tidak melirikku.
Rudi menjadi lelaki membantuku kembali merasa dicintai. Keluarganya bahkan menerimaku dengan baik dan yang paling penting, mereka tidak mengetahui aibku.
Dia meminta untuk mempertemukannya dengan kedua orang tuaku. Di hadapan mereka, dia meminta agar aku dapat menjadi istrinya. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak. Hari pertunangan kami akan segera di laksanakan.
Aku benar-benar akan terlahir baru. Aku akan menikah. Aku akan memiliki kehidupan yang baik. Tak ada air mata lagi. Tak ada penyesalan. Urusan selaput yang rusak itu akan aku palsukan. Akan kuurus itu nanti. Bukankah suatu kebohongan haruslah ditutupi dengan kebohongan lagi dan membuatnya menjadi hal yang dipercaya.
Sayangnya, semua itu tidak berlangsung lama. Fakta yang sebenarnya selalu berusaha keluar dari kegelapan. Ia menjelma akar yang ingin menumbuhkan dirinya dan berdiri kokoh di atas tanah.
“Kenapa kamu harus berbohong? Kenapa tidak jujur saja sejak awal?” Rudi segera mencecarku dengan pertanyaan yang sulit untuk kujawab. Jika sejak awal aku jujur, mana mungkin dia mau menikahiku.
“Apa kamu benar-benar mau menikah denganku? Apa kamu mau menerima kekuranganku ini?” Aku dengan menatap kedua bola matanya. Mata cokelat yang selalu lekat menatapku dan mengatakan bahwa ia sangat mencintaiku.
Dia menutup mata. Bibirnya terkatup. Dan menolehkan pandangannya dariku. Aku tidak menerima jawaban. Mungkin (aku berharap) dia mencintaiku. Teramat sangat. Tetapi, tidak untuk menerima semua kekuranganku. Aku pernah memimpikan ini, tapi sungguh aku tidak pernah berharap mimpi itu menjadi kenyataan. Pertunangan kami kandas. Tidak ada harapan lagi bagiku untuk menikah.
“Aku minta maaf,” itu kata terakhir yang dia ucapkan padaku. Setelah itu dia menemui kedua orang tuaku. Membatalkan pertunangan kami dengan alasan bahwa dia tidak bisa menerima kekuranganku. Dia menginginkan gadis yang baik budinya dan masih suci katanya. Omong kosong.
Memangnya sesuci apa kaum lelaki, hingga menginginkan wanita yang masih suci. Aku berani bersumpah, tidak ada lelaki yang masih suci di dunia ini. Setidaknya, sperma mereka pernah jatuh di toilet, atau bahkan tumpah dalam sabun batangan!
Rudi meninggalkan rumahku dan kedua orang tuaku terduduk di ruang tamu. Saling diam. Mereka akhirnya tahu anaknya tidak perawan lagi. Apa daya mereka? Hanya tamparan dan derai air mata yang dapat mereka berikan padaku. Anak perempuan yang sangat mereka banggakan, rupanya tidak sempurna lagi.
Ke mana lagi aku harus sembunyi? Rasanya dunia ini juga akan menganggapku sampah. Bahkan kedua orang tuaku. Mereka memilih untuk tidak mengenalku lagi. Menyesal karena pernah melahirkanku, dan membesarkanku.
Jika benar bahwa masa lalu adalah guru terbaik. Maka itu tidak berlaku bagiku. Masa lalu adalah hal yang sangat ingin kuhapus dalam jejak kehidupanku. Kini kisahku selalu berakhir jatuh cinta dan ditinggalkan terus menerus. Sampai semua itu tidak terhitung lagi. Aku menyebutnya lingkaran setan. Bahkan setan sekalipun tidak akan mau mengulang kisah sepertiku. Jatuh cinta – rencana menikah – aibku terbongkar – putus cinta – jatuh cinta lagi – hampir menikah lagi – aib terbongkar lagi – putus cinta lagi. Begitu terus sampai aku bosan.
Untuk apa hidup dengan keinginan menikah? Apakah dengan menikah, aku akan bahagia? Begitu banyak wanita di luar sana justru bernasib sial karena menikahi lelaki yang salah, bahkan mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari keluarga laki-laki karena tak kunjung memberikan keturunan.
Aku sadar, aku adalah wanita yang bebas. Aku bebas bercinta dengan siapa saja, tanpa harus memiliki tujuan untuk menikah. Jika menginginkan anak, aku dengan mudahnya mengadopsi seorang anak dari panti asuhan, atau jika benar-benar ingin punya anak kandung, aku akan memasang diriku untuk dimasuki lebih dalam oleh lelaki di luar sana, tanpa takut hamil di luar nikah. Toh, melahirkan tanpa suami sudah tidak penting lagi bagiku.
Nasibku berakhir seperti ini. Barang bekas. Lantas, bagaimana dengan El? Apakah nasibnya juga sama sepertiku? Aku harus memastikan nasibnya. Harusnya dia tidak bahagia.
*
“Kau tahu wanita tua di dalam sana?”
“Bukannya dia Fitri? Si pebisnis terkenal itu?”
Aku terbangun mendengar seseorang menyebut namaku. Mataku masih teramat berat, untuk menyapa sinar matahari yang memaksa masuk melalui ventilasi kamar. Aku melihat ke luar jendela. Empat gadis cantik tengah bercengkrama begitu akrabnya di luar sana. Sementara beberapa orang-orang bebas melangkahkan kaki ke mana mereka mau. Sedangkan aku hanya bisa melihat senyum dan tawa wajah-wajah itu dari balik jendela kamar. Andai borgol ini tidak melingkari pergelangan tanganku, mungkin aku juga akan tersenyum seperti mereka.
“Kau belum pernah mendengar ceritanya?” Gadis berambut ikal itu sepertinya tahu banyak tentangku.
“Dia membayar orang untuk membakar rumah El, si anak gubernur itu,” sambungnya lagi.
“HAH?” Tiga gadis yang mendengarnya tampak terkejut mendengarnya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah gadis-gadis itu.
“Dokter di sini bilang, dia mengidap….” Kalimatnya terhenti ketika seorang perawat menegur mereka untuk tidak berisik di dekat kamar pasien.
Aku harap, empat wanita yang sedang menceritakanku itu, tidak bernasib sama sepertiku.
*
Kawan, apa kau pikir cerita ini sudah selesai? Belum. Ceritaku akan terus berputar pada perempuan di luar sana. Bisa saja kamu, atau orang terdekatmu. Kau dapat beritahu padaku jika cerita ini terulang padamu. Aku akan keluar dari sini, dan mempercepat karma menghampiri lelaki itu.
Penulis :

Lahir dan besar di Kendari. Sekarang bekerja sebagai Bidan dalam program Nusantara Sehat di Pulau Rote Ndao – NTT. Beberapa tulisannya dimuat dalam buku antologi bersama maupun sendiri, Harian Rakyat Sultra, dan buku pengayaan terbitan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara.