Sebuah Catatan Untuk Kau Baca
Sembuh dari luka hati memang tak bisa dipaksakan. Ada perubahan yang nyata, jelas, terasa namun tak kasat mata. Seumpama terik siang, ia terang yang menyilaukan mata.
Patah hati, dua kata itu bak peluru yang ditembakkan di dada Sopian ketika ia butuh lebih banyak semangat dan motivasi. Sebuah hantaman telak, ngilu sekujur tubuh. Sosok yang tidak pernah sampai dipikiran Sopian bahwa ia akan jadi sosok yang paling Sopian benci. Sosok yang paling hebat melukai.
Ada sakit yang tak bisa Sopian terjemahkan ke dalam kata demi kata. Siapapun tahu bahwa sejak hari itu, Sopian menepi dari segala kewajiban yang seharusnya selesai di tahun itu.
Sopian Songgala, lelaki pesakitan yang dimatikan harapannya…memilih menjadi pecundang ketimbang menghadapi hari-hari yang terus berganti. Di kepalanya, ia hanya ingin pulang kembali ke pelukan wanita yang dulu cintanya selalu ada untuknya.
Di kepala Sopian, semuanya saling serbu. Memikirkan Janira membuat Sopian sulit bernafas. Memikirkan Janira…membuat Sopian sulit untuk tetap waras. Ingin sekali rasanya Sopian kembali menginjakan kaki di tempat Janira merebahkan tubuh lelahnya. Sebuah tempat yang Sopian sangka akan menjadi salah satu tempat ia berpulang; rumah orangtua Janira.
“Hahaha…lucu saya ini. Berkali-kali mencoba realistis bahwa dulu kita sedekat nadi dan kini sejauh matahari, namun tetap saja…pada akhirnya hati tak bisa dibohongi. Saya merindukanmu.” Kalimat demi kalimat memenuhi isi kepala Sopian.
“Saya merindukan wajah bahagiamu sewaktu pertama kali saya menginjakkan kaki di rumah yang kau naungi. Saya merindukan wajah ramah kedua orangtuamu yang dengan sigap melengkungkan senyum disusul pertanyaan sejauh mana kita akan melangkah. Saya merindukan adik-adikmu yang terus menerus manja dan girang ketika menyambut kedatanganku, berulang kali. Lebih dari itu semua, saya merindukanmu Janira…saya merindukanmu sebagai perempuan yang dulu, cintanya selalu ada untukku.”
Berkali-kali Sopian mengunjungi tempat pertama kali ia bertemu dengan Janira. Ingatan Sopian pun masih tetap segar, tepat di ruangan itu, kursi panjang berwarna hitam, pojok sebelah kanan, ia melihat Janira menghabiskan seharian penuh menunggu pembimbing skripsinya.
Sesekali Janira berbincang dengan teman di sampingnya. Waktu itu Janira tertawa tipis, tawa yang Sopian yakini sebagai penawar rasa kesal karena menunggu.
“Kau cantik, Janira. Dalam diam, saya terus menatapmu. Beberapa kali kau merenggangkan badan. Kau pasti lelah duduk seharian. Apalagi, tidak sedikit pun kau beranjak dari posisi dudukmu waktu itu.”
Kala itu, orang-orang pulang. Pulang menggendong tas masing-masing. Mereka menyerah menunggu. Sementara Janira masih di bangku itu. Menunggu, terus menunggu. Untuk pertama kalinya Sopian menyadari bahwa Janira adalah wanita yang gigih dan pantang menyerah.
Waktu itu, meski tak di samping Janira, Sopian menemani Janira menunggu, tentu saja dari kejauhan.
“Janira, betapa pun, saya amat kagum dengan kegigihanmu dahulu. Hmm…Apakah sekarang kau masih segigih dahulu?”
“Kalau saya ingat-ingat kembali, ada banyak hal yang belum selesai diantara kita. Semisal pertanyaan-pertanyaan mengenai apa maunya takdir? Kenapa kita dipertemukan kalau akhirnya hanya menuai luka? Apa maunya takdir? Bila kutanyakan pertanyaan itu padamu. Seperti apa jawabanmu, Janira?”
“Siapa yang salah? Saya kah yang tak bisa menjagamu dengan baik, menyediakanmu pelukan paling nyaman dan menjadi tempat segala lelah, sedih dan bahagiamu untuk kau tumpahkan?”
“Siapa yang salah? Saya kah yang kurang gigih memperjuangkanmu, kurang menggenggam tanganmu di saat kau goyah, kurang menyediakan bahu saat kau butuh sandaran dan kurang memberimu perhatian saat puluhan lelaki berebut tempat untuk memberimu perhatian. Saya kah yang salah?”
“Ah entahlah.” Sopian tersadar dari lamunan sesaatnya.
Apapun itu, hari ini Sopian kembali merindukan Janira meski mereka bukan lagi dua orang yang saling bangga memiliki satu sama lain. Bukan lagi dua orang yang berbincang dengan suara lembut dan tatapan penuh perhatian. Kini, mereka adalah dua orang yang berusaha sembuh dari luka hati.
Sopian sadar, meski Janira telah dinikahi lelaki lain, ia harus menuntaskan perasaannya yang mengganjal. Maka ia memutuskan mengirimi Janira sebuah pesan panjang, pesan yang ia namakan sebagai pesan terakhir
‘Pesan Terakhir’
Saya bertanya-tanya. Apa yang kau rasakan? Apa yang kau rasa saat ini, saat kita saling memunggungi. Saat kita tidak lagi saling menunggu kabar. Saat kita tidak lagi membicarakan tentang model rumah, nama anak pertama dan hal-hal yang telah kita rencanakan. Saat kita berhenti saling tatap di perjumpaan yang tidak kita duga.
Masihkah terbesit di pikiranmu tentang hal-hal itu? Adakah di hatimu tertinggal impian-impian yang kita rangkai? Atau kau benar-benar berhenti peduli? Aku…masih.
Janira, bolehkah saya meminta? Bacalah pesan ini ketika suamimu sedang memeluk mesra tubuhmu. Katakan padanya bahwa meski ia memilikimu, namun anak yang kau kandung adalah anakku, betapapun…ia hanya penggantiku. Hanya pengganti. Itu semua karena saya tak bisa menyanggupi syarat-syarat pernikahan yang orangtuamu minta. Bacakan pesanku ini untuknya.”
Penulis :

Lelaki bertangan kidal yang lahir dan bertumbuh di bumi anoa 24 tahun lalu, tergabung dan aktif dalam lingkaran literasi Rumah Bunyi. Ia adalah lelaki yang tidak menikmati obrolan penuh basa-basi.