Saya Ingin Pulang
Saya pemuda kelana yang sudah lama berjuang di tanah orang. Jauh dari tempat kelahiran. Saat ini saya tinggal di kaki bukit pinggiran kota Kendari yang tenang.
Setiap pagi pasti mendengar desiran air sungai kecil mengalir di samping kontrakan. Suara burung dari puncak bukit menambah suasana pagi yang meningkatkan semangat untuk berbuat. Wajar, sepertiku yang membagi waktu antara kerja dan kuliah memang harus terus mendapatkan dukungan suasan alam untuk tetap semangat.
Sebab kalau tidak bekerja mau dapat darimana modal untuk bayar uang pendidikan. Belum lagi biaya keseharian, mulai dari makanan sampai kontrakan plus listrik bulanan. Tetapi pekerjaan juga terkadang menghambat pendidikan. Terbukti, sudah 6 tahun saya jalani, gelar sarjana belum juga saya dapatkan.
Di sisi lain, kalau saya tidak selesaikan pendidikan mau jadi apa saya di hari kemudian, sementara sekarang hanya pekerja harian tanpa ada gaji tetap yang menjanjikan. Jangankan saya yang hanya lulusan Sekolah Menengah Kejuruan dan sembari menempuh pendidikan lanjutan, banyak sarjana yang hari ini masih menjadi pengangguran. Entah karena masih nyaman rebahan atau karena memang susah mencari yang namanya pekerjaan.
Setahu saya jaman sekarang ini, ketika melamar pekerjaan mayoritas perusahaan sudah memasang kriteria bagi para pelamar calon karyawan. Mulai dari riwayat pendidikan minimal sarjana dan pengalaman 2 tahun di bidang yang sama. Belum lagi terkadang ada perusahaan yang mewajibkan sertifikat keprofesian atau keahlian yang harus kita punya. Nah, bagaimana di masa yang akan datang. Sudah pasti akan lebih menyulitkan.
Belum lagi saat ini kita harus dipaksa mengikuti teknologi yang terus berkembang. Sekarang saya sudah merasakan. Pertengahan tahun 2019 saya tidak mengenal istilah daring (dalam jaringan) apa lagi zoom (aplikasi zoom). Terlepas dari saya yang katro, tapi di awal tahun 2020 saya dipaksa mengenal dan menggunakannya.
Sekolah, kuliah, seminar, kerja pun saat ini mayoritas orang dipaksa untuk lebih memilih dalam jaringan. Selain menjalankan aturan protokol kesehatan yang masih membingungkan, daring bisa meminimalisir energi yang terbuang, juga dianggap lebih efisien, meskipun saya lihat tidak efektif.
Di tengah arus kondisi dan perkembangan zaman, justru banyak perusahaan yang memberhentikan karyawan secara besar-besaran. Alasannya beragam, mulai dari dampak covid-19 terhadap perekonomian, menjalankan aturan protokol kesehatan, anjuran bekerja dari rumah, hingga banyak orang yang dirumahkan.
Hal demikian membuat saya semakin geram karena melihat dan merasakan berbagai ketimpangan. Saya rasa saat ini, orang yang sudah kaya tambah raya, yang miskin justru makin melarat. Bagaimana tidak, menteri dan gubernur yang kaya justru korupsi, perusahaan asing milik China justru memecat karyawannya.
Saya bersyukur suatu ketika kala itu bertemu dengan seorang senior di rumah perkaderan, saat saya sedang mengikuti perkaderannya. Sejak itulah saya banyak belajar dan diajari menjadi pemuda mahasiswa yang mandiri dan berjiwa tinggi.
Bukan hanya mementingkan kepentingan pribadi, tetapi juga meluangkan waktu untuk bersuara lantang demi kebenaran dan hak banyak orang. Sampai suatu ketika saya sering dipanggil untuk berdiri dan berteriak di jalanan.
Panas-panasan di bawah terik matahari, tambah panas dicium asap kobaran api dari bakaran ban. Sampai terakhir saya bersuara lantang, membantunya menyuarakan permasalahan salah satu pembangunan di pinggiran kota dan penggunaan anggaran kesehatan yang tidak jelas kemana arahnya.
Sama dengan kurang jelasnya arah jalanku saat ini. Sementara “Saya Ingin Pulang”. Pulang memeluk dan mencium kening Ibu Ayahku yang juga pasti merindukan anaknya yang sedang berjuang namun belum menampakkan hasil yang menggembirakan.
Sisa menghitung hari kita akan sampai di bulan yang suci. Siapa yang tidak ingin menikmati cinta dalam rumah saat Ramadhan. Makan bersama, buka dan sahur bersama.
Apa lagi sudah dua kali lebaran tak merasakan indahnya kebersamaan keluarga di kampung halaman. Idul Fitri 2020 pertama kalinya muncul larangan mudik lebaran karena alasan penularan COVID-19. Idul Adha juga tak ada mudik karena virus lagi di puncak. Bulan Suci ini, Idul Fitri 2021 ini, saya ingin pulang. Tapi apa daya Wali Kota bilang, “Lebaran di Kendari Saja”. Itu semacam larangan untuk mengecup tangan, pipi, dan jidat kedua orang tua yang tidak bisa diwakili oleh aplikasi daring apapun.
Penulis :

Mahasiswa S1 Kehutanan UHO, Aktivis HMI Cabang Kendari, Founder Komunitas Teras Milenial Sultra