Puisi: Saya adalah Perempuan, Pejuang Tak Bernama, Masihkah Kita Punya Cinta?

Saya adalah Perempuan, Pejuang Tak Bernama, Masihkah Kita Punya Cinta?

 

Saya adalah Perempuan

Meski tidak melulu tentang mawar, lipstik ataupun baju berwarna pink, Tapi saya adalah perempuan

Gunung, pantai, hutan, pohon, jalanan, kopi dan keras kepala ini adalah saya,
Tapi saya adalah perempuan

Bagian dari potongan dada hawa, yang sebagiannya adalah rusuk kanan seorang adam
Yang nasibnya sendiri harus tunduk dan patuh oleh tarekat dan istiadat
Tualang yang harus pulang melapang
Menunggu pinang dideras angin dan terik bulan

Sayangnya, saya adalah perempuan
Yang lirih merentang hati yang kerontang ditinggal mati diri sendiri
Yang paling lantang diam
Menunggu menggenang kenang di kening

Wahai para tuan-tuan!
Lihatlah betapa kau menghamba pada Tuhanku
Tidak ada laga antara aku dan takdirku yang kejam
Lalu dengan belati hati kau ingin mereguk segala keakuanku?

Lihatlah! Lihatlah keperempuananku
Sungguh telah aku khatamkan segala rupa kesedihan juga setiap tubuh-tubuh rindu yang takut mati dalam dadaku

Lihatlah! Lihatlah keperempuananku
Yang rela disetubuhi oleh air matanya sendiri, bahkan ketika kematian hendak mengambil nafasnya dalam tubuhku

 

Pejuang Tak Bernama

Kulihat ibu memeluk nisan-nisan purba
Tidak bernama hanya pejuang tertera
Ia lantunkan tembang-tambang surga
Sambil menaburkan air mata di atas pusara

Di sini terbaring putra pertiwi dengan lumur darah
Sisa menjemput ajal di medan gerilya
Peluru di dada dibayar merdeka dulu kala
Peluru di dada dibayar sengsara ini masa

Kulihat ibu memeluk nisan-nisan purba
Tidak bernama hanya pejuang tertera
Ia lantunkan tembang-tambang duka
Mengenang putra yang kokang senjata
Tak gentar diburu penjajah
Tak gentar dibungkam suara
Tak gentar dibunuh biadap
Tapi mati tak dikenal sejarah
Tak dikenang negara
Tak ditulis dalam sajak-sajak yang seharusnya penuh dengan doa dan air mata
Hilang di peradaban tak berwarta
Sayang tak sendirian ia menghuni baka
Di bumi anoa dua pemuda berjiwa merdeka menjelma reinkarnasi sang pejuang
Menderma raga dibalas air tuba
Mengais merdeka ditumpas tidak bernyawa

Kulihat ibu memeluk nisan-nisan purba
Tak bernama hanya pejuang tertera
Ia lantunkan tembang-tambang merdeka
Dengan miris ia berkata
“Kita ini rakyat. Bukan hamba. Ini negara. Bukan neraka!”

 

Masihkah Kita Punya Cinta?

Melebam seluruh tubuh-tubuh kota
Dijarah ketakutan juga kehilangan
Lampu dan segala piruk jalanan dilanda kesepian
Yang marak hanyalah doa juga kematian

Sebab kompor harus terus menyala
Sebab susu dan beras harus terbeli
Sebab cita harus tetap digantung setinggi langit
Sebab yang merakyat mati suri di baliho-baliho yang kusam

Ada masjid yang merindukan khusyuk sujud imam dan makmum
Di gereja gema kasih nanar mendekap sunyi di pelukan Isa
Klenteng dan Viara tak lagi menyesapi asap-asap pengharapan

Hati adalah rumah ibadah tersuci kata ibu, tapi derai matanya pilu sebab ada yang sibuk memeras darah sendiri, agar tak haus anak tercinta
Lihatlah nak, betapa surga begitu dekat dengannya
Tapi cinta lebih subur dari luka-luka ditubuhnya

Di televisi tangan di atas bertebaran demi kemanusiaan, katanya
Tapi koran-koran bekas masih banyak dibutuhkan untuk alas tidur atau sekedar pengganti selimut.

Entah, tak ada yang peduli
Pak presiden sibuk berbahasa, karena mudik dan pulang kampung yang tak sama
Sementara kematian dengan liar mencumbui satu persatu dari kita
Tak apa katanya, sebab sembako sudah dilempar habis di pinggir jalan

Ya!
Persoalan hidup dan mati, tuhan segalanya
Persoalan doa siapa yang tak punya?
Tapi persoalan cinta, masihkah kita punya?

Di gang-gang sempit, jerit sunyi tak lebih lengking dari suara perut yang keroncongan
Kemerdekaan telah habis ditelan, tapi kenyang terlalu asing bagi mereka yang sehari-hari harus menelan kebohongan yang berulang
Entah apa itu simpati, apa itu empati
Yang mereka tahu, lapar adalah karib

Ya! Persoalan hidup dan mati, tuhan segalanya
Persoalan doa siapa yang tak punya
Tapi persoalan cinta, masihkah kita punya?

Penulis :

Loading