Puisi: Aku Menyaksikan Palestina Merdeka di Matanya, Ingin Pulang ke Rahim, 26 September (Adalagi yang Mati)
Aku Menyaksikan Palestina Merdeka di Matanya
kepada : Muhammad Ayas, anak masker bawang di Palestina
Ayas katakan padaku
puisi apa yang dibacakan ayahmu sebelum tidur
sampai kau menantang jutaan mulut senjata
di perbatasan ketika pagi sudah mengepung
dan zionis memulai perayaan kematian
aku menatapmu lama
deretan pohon apel Gaza ada di barisan gigimu
di tubuhmu
puluhan remaja yang kehilangan pelukan
menanam bawang dan menyiraminya dengan doa-doa
kau
bergulat bersama gas air mata dan desing peluru
kau tak gentar
matamu lebar terbuka
kedua bolanya menyala
mereka ketakutan, menggigit habis jarinya
saksikanlah ketakutan di wajah-wajah itu
eufrat makin kering bibirnya
mereka berlomba-lomba menanam pohon garqad
sementara di Gaza perempuan-perempuan yang kehilangan pelukan
menanam timun, kol, dan labu
dimasak jadi sup
disajikan untuk anaknya di surga
lihatlah senyum mereka
seperti matahari pagi yang menerpa kubah Al Aqsa
cerah dan bersinar terang
Ayas tahukah kamu
ada darah Musa di tubuhku
mendidih dan tumpah ke jalanan
menenggelamkan gedung-gedung tinggi Tel Aviv
jika peluru-peluru itu menembus kepalamu
peliharalah api dalam dadamu, jangan biarkan ia padam
aku akan melahapnya sampai habis
mengorbankannya lagi
membaginya pada sesiapa saja
Ayas, tidurlah dalam bayangan ibumu
puisi ini adalah kado ulang tahunmu
kantor KNRP, 018
Ingin Pulang ke Rahim
demi kedua kaki yang menyimpan surga
saya ingin berbaring di lengannya
menceritakan segala hal dalam kepalaku
demi jari-jari tangan yang ajaib
saya ingin menempatkan wajahku di telapaknya
menyaksikan rawi menyingsing dari bibirnya
demi dada lapang yang penuh doa-doa
saya ingin tenggelam dalam kehangatan
biarkan kesedihan mengapung
betapa masygulnya semua ini bu
kau akan dikira komunis hanya karena suka che guevara
atau membaca madilog tan malaka
kau sudah dengar penggerebekan toko buku kediri
hanya karena ia menjual buku-buku kiri
padahal wajah aidit dan marx tersenyum lebar di gramedia
bu mereka tidak tahu kalau di rumah pedagang itu punya banyak kepala
dan mulut yang harus diisi
bu bukankah cebok juga penting dalam hidup
tidak cukup sekedar salaman saja
saya menyandarkan kepala di tembok, dan tanganmu membelainya
tapi sial! orang-orang datang dengan baju warna-warni
memberondongku dengan banyak tanda tanya
begitu menjengkelkan
demi santan kelapa yang kering di rambutmu
dan bedak beras yang mencium kedua pipimu
aku ingin pulang kembali ke rahimmu saja
hari ibu, 018
26 September (Adalagi yang Mati)
Ma,
Pagi ini begitu cerah
Jutaan matahari bangkit dari pundak-pundak
Dan sisa rembulan semalam masih membekas
Di wajah-wajah yang memenuhi jalan-jalan
Barisan, dan trotoar jalan
Mereka berkerumun setelah menyaksikan
Jutaan fakta jebol dan para penguasa ngangkang dan berak di atas kepala
Anak-anak muda itu sadar
Kalau narasi-narasi yang ditulisnya hanya
Membentur jidat kekuasaan dan menambah dokumen keluhan
Dalam laci-laci meja kerja penguasa
Katanya mereka sibuk kerja
Sementara di jalanan banyak anak-anak
Berpeluh mengasong senja
Senja, senja, senja. Lima ribu tiga
Ma…
Dua puluh enam September mereka berkumpul
Toa-toa lantang menggema
Suara-suara berkelana di semesta raya
Berpesta dalam senjakala
Mereka menggali protes-protes mereka yang terkubur di bawah tilam
Disuarakan sampai menjelang malam
Mereka sepasukan kata-kata yang berkeringat, bersesakan
Mencari jalan, dan akan mendobrak pintu istana
Seperti mengulang kisah silam
Penguasa berusaha menghapus pamplet masa darurat
Lihat maaaaa
Mahasiswa dikepung tiga penjuru
Dengan seragam dan senjata-senjata pengecut,
mereka membuat panggung pertunjukan sembilan delapan
Sambil main tembak-tembakan
Lalu Ma….
Ada lagi yang mati
Dua orang mahasiswa
ditembak polisi
Disusupi timah panas jantungnya
Dikoyak belakang kepalanya oleh
Peluru para petrus
Juga ma…
Disana di bawah pohon palem tepat di depan gedung DPRD, aku menyaksikan
Mereka tertawa-tawa setelah kami melepas al Fatiha dari sangkar lisan kami
ketika sore yang merah
muncul dengan penuh duka
Ma, apa kabarmu?
Apakah rasamu akan sama kalau seandainya dua mahasiswa itu adalah lanangmu
Kau meratapi sepasang pakaian yang belum sempat kukemas ke kota rantau
Lalu muncul gerimis menyusul deras kemudian
Atau sehabis dari menjaring doa-doa
Ayah menemukanku dibalut kedukaan
Dengan dempul air mata adik dan sanak saudara. Lalu ia menghambur kumpulan orang dengan kesedihan yang begitu lirih
Menjelang esok, kau akan berkunjung dari satu rumah ke rumah lain untuk sekedar menanyakan apakah anakku menginap disini?
Ma, Ada lagi yang dipukuli
Diculik dari kerumunan masa aksi
Dengan alasan ketertiban
Ketika kami menuntut ratu adil
Disambut lagi dengan barisan tameng juga mobil barakuda
Ditembakan lagi gas air mata begitu deras mendera
Menyusup dalam liang-liang nyala api
Tapi, kami tidak gentar ma
Batu-batu yang dibakar amarah
Menghujani mereka
Dalam pertempuran yang tak seimbang
Ma…
Sebelum kami diburu
dengan peluru, mobil barakuda dan pasukan huru-hara
Terlebih dulu kami sebar benih-benih dendam ia akan subur, menjalar, menggerogoti dan menggantung mereka dengan sulur-sulur yang murka
Sebab disuburkan dengan air mata dari duka kekasih yang tak bisa menanak cinta dan
kasih sayang untuk lelakinya
Ma, ada lagi yang mati
Larik-larik puisi ini adalah kutukan
yang lahir dari qurban peradaban durjana
Kendari 020
Penulis :

Lahir di karoo, beberapa tahun silam. Sekarang sedang sibuk menggapai impiannya sebagai penyair dan sutradara teater. Ingin sekali ngopi sama Dian Sastro.