AUTOBIOGRAPHY :

PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN ORDE BARU YANG TIDAK PERNAH PENSIUN DARI BANGSA KITA

Barangkali sudah jadi rahasia umum jika penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru pernah begitu kuat merusak kewarasan bangsa ini. Lebih dari tiga dekade lamanya, praktik otoritarianisme menjadi wajah utama dari kepemimpinan the smilling general. Tindakan represif, pengkultusan militerisme, pembungkaman ruang-ruang kritik, hingga propaganda melalaui aparatus ideologi – lembaga pendidikan, media berita, bahkan media film – menjadi cara yang ditempuh sang jendral untuk melanggengkan kekuasaannya.

32 tahun lamanya, melalui praktik kekerasan dan kesadaran palsu yang dilanggengkan membuat bangsa ini tertindas secara fisik dan psikis. Ketertindasan yang berulang pada akhirnya berbuah gelombang gerakan yang menentang kekuasaan orde baru. Reformasi yang meletus pada tahun 1998, pada akhirnya, menjadi catatan sejarah yang mengakhiri sistem kekuasaan orde baru. Melalui reformasi itu juga, harapan baru untuk menjauh dari model kepemimpinan otoriter dilabuhkan. Namun, setelah lama lepas dari genggaman orde baru, apakah kita benar-benar berhasil keluar dari bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan?

Makbul Mubarak – yang meski tidak secara gamblang – berhasil memotret praktik penyalahgunaan kekuasaan yang diwariskan bangsa ini melalui film panjang perdananya, Autobiography.
Autobiography bercerita tentang Rakib (Kevin Ardilova) seorang pemuda yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah kosong milik pensiunan militer bernama Purna (Arswendy Bening Swara). Oleh masyarakat sekitar, Purna kerap disapa dengan sebutan “jendral”. “Jendral” yang memiliki kekuasaan, yang dalam tindakan dan perkataannya dapat membuat orang-orang terpaksa patuh.
Melaui tokoh Rakib dan Purna inilah, Autobiography bertutur mengenai relasi kuasa yang timpang antara majikan dan pembantu – dan lebih jauh relasi kuasa antara produk pengkultusan militer dengan masyarakat yang mengalami trauma kolektif orde baru.

Makbul, sebagai sutradara dan sekaligus penulis naskah, menempatkan Purna sebagai sosok dengan citra otoriter yang begitu kuat. Dalam ruang-ruang yang privat, Purna, melalui tatapan matanya, cara berbicara, hingga cara memerintah, begitu nampak intimidatif. Namun, ketika berada di ruang publik, kekejaman itu nampak sembunyi-sembunyi berganti dengan perkataan-perkataan yang mengayomi. Purna seolah-olah menjadi representasi yang utuh dari praktik kekuasaan orde baru yang penuh kekerasan namun terlihat ramah dalam penggambaran media.

Sementara Rakib, yang sepanjang film selalu berada di dekat Purna, mengalami pasang surut keyakinan. Di lain waktu ketakutan, di lain waktu mengagumi, dan pada titik tertentu ingin keluar dari cengkraman kuasa Purna. Rakib yang sejak lama tidak akrab dengan ayahnya, pada mulanya menganggap perlakuan Purna sebagai bentuk kasih sayang bapak kepada anaknya. Purna mengajarkan Rakib menembak, bermain catur, hingga memberikannya bekas seragam tantara – yang melalui seragam inilah Rakib merasakan sedikit “enaknya” memiliki kuasa atas orang lain.

Namun sering berjalannya waktu, kekaguman Rakib pelan-pelan berubah menjadi ketakutan-ketakutan yang tidak berkesudahan. Kekejaman berulang yang dilakukan oleh Purna terhadap masyarakat dan dirinya sendiri membuat hati nurani Rakib terombang-ambing. Pada titik kulminasi kesadarannya, Rakib akhirnya memilih untuk mengakhiri kuasa Purna.

Barangkali, melalui karakter Rakib, Makbul ingin membawa kita pada transformasi psikis yang dialami bangsa Indonesia pada masa orde baru. Kehadiran orde baru pada mulanya dianggap sebagai penyelamat bagi masyarakat. Melalui propagandanya, orde baru membabat habis simpatisan-simpatisan komunis yang dianggap sebagai antagonis utama bangsa ini. Jutaan masyarakat tidak bersalah dihukum tanpa proses peradilan. Kekerasan itu belanjut bagi mereka yang mencoba bersuara – oposisi, mahasiswa, hingga akademisi – menjadi orang-orang yang selalu berada di bawah ketakutan. Pada akhirnya, kekejaman dan pembungkaman berulang berhasil melahirkan kesadaran sebenarnya untuk membentuk gelombang perlawanan.

Sebagai penonton, saya tentu bersuka cita ketika Rakib berhasil mengambil keputusan atas kegamangannya dalam melihat kekejaman berulang yang dilakukan Purna. Pilihan untuk melakukan perlawanan adalah tindakan paling waras bagi orang-orang yang selalu dilecehkan oleh kekuasaan. Namun, apa yang dihadirkan Makbul pada scene terakhir – adegan Rakib meminta kopi dan tersenyum penuh tanda tanya di akhir film – membuat saya berpikir ulang, apakah penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Purna benar-benar telah berakhir, atau justru penyalahgunaan kekuasaan itu akan hadir dalam bentuk lain pada sosok Rakib yang telah terbebas.

Untuk menjawabnya, kita hanya perlu berkaca pada kondisi bangsa saat ini. 20 tahun pasca reformasi apakah kita benar-benar keluar dari praktik penyalahgunaan kekuasaan ala orde baru, atau kita hanya terus mewarisinya – mungkin dalam bentuk yang lain.




Loading