Oligarki: Buah dan Dosa Demokrasi Prosedural
Idealisasi sebagai negara-bangsa Indonesia akhirnya menjatuhkan pilihan pada demokrasi sebagai tata kelola pemerintahan terbaik yang hari-hari ini tercoreng oleh segelintir elit-oligarki. Betapa demokrasi yang dipilih hari ini nyatanya tidak mampu menjamin distribusi kekayaan atau minimal pemerataan ekonomi sebagaimana cita-cita Founding Person Indonesia.
Demokrasi lahir-dilahirkan dan menggguli seluruh sistem tata kelola pemerintahan di dunia. Namun birama kemunculannya membawa sejumlah predator ekonomi-politik yang berselancar bebas mengambil keuntungan.
Oligark beradaptasi secara cepat dalam sistem. Pada akhirnya merekalah yang membuat sistem demokrasi itu sendiri dan memungkinkan mereka mendapatkan hak-hak istimewa.
Spirit individualisme yang dikandung demokrasi melahirkan kapitalisme tingkat lanjut yang akhirnya dikuasai plutokrasi yang hari-hari ini kita sebut Oligarki, predator ekonomi. Hal ini layak disebut sebgai dosa-dosa demokrasi atau cacat bawaan demokrasi.
Artinya oligarki lahir dan dilahirkan dari Rahim demokrasi procedural—demokrasi palsu yang dipaksakan penguasa guna menjamin stabilitas pembangunan ekonomi.
Mengenal Bandit Ekonomi
Pada konteks ini, pengakuan John Perkins sebagai salah satu bandit ekonomi dalam bukunya, Pengakuan Bandit Ekonomi, menegaskan bagaimana perampokan yang dilakukan elit-oligarkis disahkan dan dilegalkan karena mencatut nama kepentingan Publik dan Negara.
Budiarto Shambazy, wartawan Senior Harian Kompas, “Kejahatan Korporatokrasi di Indonesia” dalam kata pengantar buku Pengakuan Bandit Ekonomi, mengambarkan beberapa contoh kerja ala mafioso bandit ekonomi ini: menggunakan semua cara mencapai tujuan, termasuk pembunuhan beberapa Presiden di Amerika latin.
Dalam konteks Indonesia, berdasar pengakuan bandit ekonomi, Budiarto melanjutkan, bahwa sejak awal eksitensi korporatokrasi disambut hangat oleh pejabat tinggi Orde baru. Berturut-turut pembangunan Pembangkit listrik Tenaga Uap (PLTU), Paiton 1 dan 2 misalnya, adalah kongkalikong korporatokrasi dan kleptokrasi yang berumah tangga bernama oligarki.
Dalam pada itu, di balik buah negatif dan dosa-dosa demokrasi, dia juga melahirkan “anak haram” yang berseberangan dengan elit-oligarkis, yaitu pemimpin khararismatik yang mampu memanfaatkan nilai keterbukaan dan kesetaraan kandungan demokrasi itu sendiri. Mereka kritis terhadap apa saja, sehingga tidak jarang melahirkan Gerakan Populisme sebagai jalan merambah wajah asli demokrasi.
Mengutip Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya, Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral, menegaskan, bahwa populisme bisa mendapatkan persemaian yang subur di tengah masyarakat yang menghadapi krisis. Situasi krisis ini secara akurat didefinisakan oleh Crista Deiwiks (2009) dalam tiga bentuk. Pertama, kondisi ekonomi, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pertumbuhan, dampak globalisasi, eksploitasi sumber daya alam dan lain-lain menjadi humus yang subur bagi lahirnya bagi klaim-klaim populisme. Kedua, populisme merupakan kritik tajam atas kegagalan representative Democracy. Ketiga, kesenjangan ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat plus ketimpangan janji-janji demokrasi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin populis untuk retorikan politik yang melenakan (Burhanuddin Muhadi, 2019: hal. 5).
Babak baru dan Perlawanan Warga
Kondisi yang digambarkan di atas bertemu keterbukaan informasi, kebebasan berserikat memungkin lahirnya gerakan perlawanan warga dan membawa babak baru dalam peta ekonomi-politik di luar kuasa oligarkis. Kondisi ini pun memaksa oligarkis mundur sejenak bahkan menghentikan program pengusaan total akumulasi modal. Babak baru seperti ini membawa angin segar bagi akomodasi kepentingan warga negara hingga ke pelosok terluar Indonesia.
Sementara di layar utama “transisi demokrasi”, pemilihan umum sebagai syarat sirkulasi kepemimpinan di nasional dan daerah terus dijalankan. Transisi ini entah sampai kapan. Sampai detik ini kita belum menemukan titik terang menuju demokrasi yang mapan, demokrasi yang berbanding dengan pemerataan dan kesejahteraan warga negara.
Kita patut curiga, wacana transisi demokrasi sesungguhnya adalah sebuah krisis yang dipaksakan dalam ruang demokrasi. Transisi demokrasi hari-hari ini tidak berjalan natural—sebuah desain permanen untuk mengangkangi demokrasi itu sendiri. Karena pada dasarnya krisis menciptakan hukumnya sendiri yang dianggap cocok untuk mengatasinya.
Namun, ketika hukum krisis menjadi hukum “normal”, maka secara tidak sadar membawa masyarakat ke dalam suatu krisis permanen karena hukum masa krisis menjadi hukum masa normal, demikian tegas Agus Sudibyo dalam pengantar bukunya, Demokrasi Kedaduratan, Memahami Filsafat Politik George Agamben.
Mengikuti stuktur logika di atas, transisi demokrasi yang dipermanenkan membuka jalur istimewa pada kebijakan tidak populis, termasuk pemenrintah merasa tidak perlu transparan terkait uang rakyat yang dibelanjakan. Sehingga pada puncaknya, logika demokrasi kedaruratan digunakan untuk mendominasi struktur ekonomi-politik nasional.
Orde Baru sejak awal menggunakan logika yang lebih kurang sama ketika mencanangkan pertumbuhan ekonomi—atas nama pembangunan, diperlukan stabilitas politik dengan cara militeristik.
Dawam Rahardjo menangkap fenomena Orde baru ini dalam kata pengantar Penyunting buku, Reformasi politik. Menurutnya, persepsi ekonom-teknokrat orde baru bahwa pembangunan/stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi. Mereka tidak punya kemampuan rekayasa politik namun membutuhkan pembaharuan politik dengan tujuan di atas.
Pertama, sebagaimana keyakinan di atas, bahwa pembangunan politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi. Kedua, pembangunan politik sebagai upaya untuk mencapai stabilitas dan perubahan yang teratur. Ketiga, pembangunan politik sebagai pengoperasian konsep “Negara Bangsa”. Negara Bangsa (diyakini) adalah konsep negara modern yang dibentuk berdasarkan kesatuan bangsa.
Fakta-fakta di lapangan tentang Elit-Oligarkis dan Demokrasi Prosedural selaras dengan logika pembangunan orde baru di atas. Artinya logika kebijakan publik sejak Orde Baru hingga hari-hari ini—dua dekade setelah reformasi berjalan di tempat. Dan karena itu dominasi segelintir Elit-Oligarkis masih terlalu kuat di republik ini.
Searah sebangun bahkan sejalan tapi tujuan berbeda, pemimpin kharismatik dari kalangan warga negara melihat pembangun dengan tujuan akhir berbeda. Dalam konteks Orde Baru, lanjut Dawam Rahardjo, LSM melihat pembanguan politik adalah pembangunan demokrasi—leibh tepatnya proses demokratisasi. Kedua, pembangunan politik sebagai mobilisasi massa dan partisipasi. Dalam hal ini, partisipasi mencakup kritik terhadap kebijakan pemerintah, control terhadap kekuasaan yang termanifes dalam transparansi dan akses terhadap informasi.
Kita pahami Bersama, kajian kelompok LSM dan pemimpin kharismatik akar rumput kemudian yang mampu menumbangkan Orde Baru. Maka demikian halnya dengan perang yang sedang berlangsung antara Elit-Oligarkis dan warga negara. Harapan warga negara menapaki jalan-jalan sukses sangat terbuka lebar. Walau kadang tertuduh sebagai Gerakan populisme, pemimpin kharismatik akar rumput telah memenangkan hati rakyat Indonesia.
Bukan Happy Ending
Drama terus berlanjut, dengan formulasi yang coba ditata ulang. Bagaimana tidak, kondisi ketimpangan yang berujung pada menjamurnya pemimpin-pemimpin kharismatik akar rumput mau tidak mau membuat agen-agen oligarkis berpikir keras—untuk terlibat dan terlihat layaknya reformis—pejuang kemanusiaan yang selanjutnya berpartisipasi aktif membangun sumber daya manusia Indonesia. Drama ini jelas sebagai kemunduran elit-oligarkis di satu pihak dan kemajuan warga negara di pihak lainnya.
Dalam pada itu, ungkapan “Uang menyembunyikan Seribu Kerusakan” seperti yang disinyalir Sterling Seagrave dalam bukunya, Sepak Terjang Para Taipan, merujuk pada Smart Money China Daratan, sesungguhnya strategi dan langkah cepat adalah bagian kecil dalam melebarkan sayap-sayap investasi bisnis mereka. Di balik sepang terjang para taipan merangkung kisah menakjubkan tentang penghianatan, pembunuhan, kekejaman, korupsi, sindikat penyelundupan narkotika, hingga kelicikan sebagai dalang politik.
Atas dasar itu, kemenangan kecil yang dicapai pemimpin kharismatik akar rumput sesunguhnya mengungkap sebagian kecil dari papan catur elit-oligarkis. Setiap perhelatan rakyat seperti sirkulasi dan kontestasi kepemimpinan, sesungguhnya tendangan elit-oligarkis masih terlalu keras-tajam untuk dihentikan oleh warga negara Indonesia.
Perjalanan dan fakta-fakta sejarah pun akhirnya menyadarkan mayorits kelas menengah yang awalnya ikut barisan warga untuk kembali berbalik arah mendukung elit-oligarkis dengan nalar sederhana: Mereka terlalu liar untuk dijinakkan, terlalu kuat untuk dilunakkan, maka lebih baik menjinakkan-melunakkan diri bersama elit-oligarkis.
Akhirnya transisi demokrasi dipermanenkan, logika krisis dinormalkan, dan lumbung ekonomi rakyat juga permanen hanya untuk segelintir orang saja. Dengan begitu warga negara tetap tinggal di pinggir lapangan permainan, jadi penonton dari generasi ke generasi.

Aktivis Sosial