Ngobrol Soal Kehidupan adalah Agenda Penting Lelaki Saat Nongkrong

Setahun yang lalu saat baru memasuki kepala dua, bukannya senang tapi saya mendapatkan banyak pikiran. Satu sampai dua tahun lagi, saya akan lulus kalau benar-benar serius menjalani kuliah. Lulus dari kuliah bukanlah persoalan yang perlu saya bawa ke tempat tidur.

Problemnya adalah setelah lulus: Saya mesti ke mana? Berbuat apa dengan secarik kertas bernama ijazah itu?

Sebagai anak remaja, selain bermain dengan kawan-kawan, pasti sesekali kita masih memikirkan masa depan atau paling banter mentraktir orangtua dengan penghasilan sendiri. Sesimpel makan martabak atau terang bulan di depan ruang teve. Tapi, apakah memang semudah itu?

Kuliah semester akhir ditengah pandemi begini bikin saya pusing. Pertama, kuliah banyak dilakukan secara online. Kedua, mata kuliah sudah bisa dihitung jari. Dan terakhir, dosen-dosen mulai sering berkhotbah tentang perkembangan judul yang mau kami ajukan. Aduh, buat tugas proposal saja saya mentok tiga hari di sub-bab latar belakang.

Alasan-alasan itu tentu saja berdampak secara tidak langsung. Mau nongkrong santai saja mesti bawa latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan. Fase ini memang bikin saya lebih banyak berdebat dengan kepala saat memasuki jam-jam malam sebelum tidur.

Harapan, cita-cita, passion. Aduh, saya mulai menanggalkan itu semua.

Kerjaan saya setiap senin-sabtu pagi, mencari-cari alasan untuk tidak berada di rumah. Alasan paling masuk akal yah ke kampus. Entah untuk sekadar jalan-jalan ke fakultas teman, nonton latihan pentas adik junior, atau datang mengisi kartu seminar dari senior yang sedang ujian.

Selain ke kampus, saya bersyukur juga punya kawan yang kerja di warung kopi. Saya bisa ke sana untuk sekadar ngopi dan ngobrol kalau pelanggannya sedang sepi. Atau ke rumah teman saya untuk ngobrol sampai pagi.

Beruntungnya, saya selalu punya alasan untuk tidak di rumah. Sekalipun di rumah, itu hanya karena saya mengerjakan tugas. Berada di rumah, membuat saya seperti orang yang paling tidak berguna. Seharian berada di kamar melahirkan asumsi tidak menyenangkan di kepala saya.

Semakin dewasa, saya merasa semakin punya tanggung jawab. Apalagi menjadi kakak sulung tiga bersaudara. Sekali waktu, saya nonton drakor Vincenzo. Salah satu dialog diucapkan tokoh yang diperankan Song Joong-ki itu membuat saya menekan pause hanya untuk berkata ‘anj*ng, betul juga’: “Umur hanya membuatmu memiliki lebih banyak tanggung jawab”.

Bukannya sok idealis atau anti-kapitalis, tapi sejak umur 18 tahun saya sudah tak lagi menggembar-gemborkan perayaan ulang tahun untuk diri sendiri. Selain karena pandangan Islam, seperti kata Vincenzo, umur hanya membuat kita memiliki lebih banyak tanggung jawab. Dari yang tadinya mesti cuci baju dan piring sendiri, jadi mesti bekerja setelah lulus.

Belum lagi sebagai kakak, peran untuk menjadi contoh yang baik bukan hal yang bisa saya tanggung. Bahkan setiap kali mendekati seorang perempuan, saya kerapkali berkata diawal pendekatan bahwa saya bukan orang yang baik, tapi juga bukan orang yang jahat. Ada stereotip-stereotip masyarakat umum yang tidak bisa saya patuhi sebagai contoh anak yang baik.

Satu waktu, saya ngobrol bersama dua kawan se-posko pas KKN. Topik yang kami bicarakan sangat random. Mulai dari nostalgia masa KKN, kedatangan Jokowi dalam rangka Munas Kadin, sampai akhirnya kami sampai ke topik yang paling banyak membuat kami mengangkat gelas kopi.

Untuk laki-laki, akan ngerti bagaimana rundown topik saat sedang nongkrong. Mau pembahasan dimulai dengan apapun, pasti akan ditutup dengan agama dan kehidupan.

Saya bercerita bagaimana tidak nyamannya saya berada di rumah dengan kondisi dan situasi seperti saat ini. Saya selalu kepikiran untuk hidup mandiri dengan menyewa sebuah indekos, tapi itu langkah serius yang perlu saya pikir-pikir kembali. Hidup di rumah memang tidak membuat saya bebas, tapi bagaimanapun juga saya tak bisa lepas dari orang-orang di rumah.

Teman saya yang lain menggeser topik pada sebuah standar dan fase kehidupan. Kehidupan yang kita jalani, seperti telah didesain dan menjadi budaya yang terus dilanggengkan. Saya rasanya seperti baru lulus SMA kemarin, tau-tau sudah berhadapan dengan fenomena masalah penelitian.

“Kita hidup pada fase yang sudah diatur. Sekolah, mencari kerja, menikah, lalu mati,” kata seorang teman sembari mengisap rokok dalam-dalam.

Argumen itu sama-sama kita sepakati dalam diam. Banyak dari kita yang ingin keluar dari standar dan fase yang sudah diatur itu. Pertanyaannya, apakah kita sanggup dengan kehidupan seperti itu. Sekalipun sanggup, ini bukan hanya tentang diri kita, tapi tentang orang-orang terdekat kita. Dominic Toretto menyebutnya “family“.

“Bayangkan, jika kita berkelana menjadi seorang backpacker, misalnya. Tidak hidup dan diatur pada standar dan fase tersebut,” lanjutnya, dengan membuat asap rokok menjadi cincin-cincin di udara. Tidak ada lanjutan, seakan itu adalah kalimat perintah untuk memaksa kita membayangkannya.

Teman yang lain hanya menyimak diskusi kami berdua. Antara berpikir atau dilema sebab kemarin baru menyatakan perasaan pada seorang teman. Selain menjalani kehidupan remaja normal, ada kalanya kita didewasakan lebih cepat oleh keadaan. Menjadi lebih bijak dari yang semestinya, berumur pendek dari yang seharusnya.

Penulis :




Loading