Neokolonialisme dalam Novel Tanah Surga Merah karya Arafat Nur

Neokolonialisme adalah penjajahan yang dilakukan dengan cara baru. Penjajahan versi neokolonialisme tidak secara fisik terjadi, melainkan menekan dari sisi ideologi, politik, dan ekonomi dari satu pihak ke pihak lain hingga membentuk suatu budaya yang menjadi cermin dari masyarakat. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ida Bagus Brata bahwa kebudayaan merupakan identitas dari sebuah masyarakat, bangsa dan negara. Masuknya nilai-nilai neokolonialisme berlangsung dari proses tersirat melalui pendidikan hingga alur globalisasi yang terkesan modern. Menurut Ahmad Natsir bahwa globalisasi memposisikan dirinya sebagai yang terbaik untuk diikuti semua kalangan sehingga pengaruhnya dapat terlihat di berbagai bidang kehidupan.
Dalam pembahasan mengenai kolonial, terdapat dua fraksi yang dikemukakan oleh Toto Suharto bahwa fraksi pertama disebut kolonial sedangkan fraksi kedua adalah kelompok pemakai atau pihak yang terjajah. Penindasan neokolonialisme biasanya tidak terlihat secara langsung. Pergerakannya cenderung halus namun berkepanjangan bagi pihak yang terjajah. Artinya, pihak-pihak yang terjajah secara tidak sadar telah menerima ajaran yang membuat mereka terjajah. Adapun bagi pihak yang merasa sadar akan hal tersebut biasanya akan melakukan semacam kampanye untuk mendukung apa yang disuarakannya. Kampanye tersebut dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui karya tulis.
Karya tulis semakin disadari merepresentasikan ideologi seseorang dalam hal ini adalah pengarang. Narasi yang disampaikan pengarang lewat karya tulis biasanya sistematis dan tersusun atas data-data yang terstruktur. Hal ini memungkinkan pembaca yang mengonsumsi suatu tulisan akan mempertimbangkan apa yang dikemukakan oleh penulis.
Seiring perkembangan zaman, proses pemasukan ideologi dari pengarang makin marak dilalukan secara implisit melalui karya tulis jenis sastra. Karya Sastra di masa ini menjadi media pengajaran nilai-nilai moral yang terkesan santai, tanpa paksaan namun berpengaruh bagi cara berpikir orang-orang karena sastra tidak semata-mata hanya berlandaskan karangan belaka. Latifah mengungkapkan bahwa pengarang merepresentasikan kondisi kehidupan, imajinasi serta gaya kepenulisan dan pada akhirnya membentuk estetika yang dapat dinikmati masyarakat. Pendapat tersebut diperkuat dengan apa yang dikatakan oleh Azizah Fidda Rifqi yang mengungkapkan bahwa sastra merupakan rekaman dari tata cara perilaku masyarakat di zaman tertentu yang diwujudkan dengan niat tertentu. Sejalan dengan kedua pihak sebelumnya, Ade Eka Anggraini yang menyatakan bahwa sastra merupakan hasil dari realitas yang ada di luarnya. Salah satu karya sastra yang mengandung banyak sekali nilai moral dan kental dengan pengaruh konflik sosial di sekitarnya adalah novel karangan Arafat Nur berjudul Tanah Surga Merah.
Tanah surga merah karya Arafat Nur menghadirkan gejolak politik lokal sebagai pokok bahasan utama dalam ceritanya. Dikisahkan bahwa seorang pria bernama Murad baru saja kembali dalam pelariannya setelah bertahun-tahun. Murad yang balik ke kampung halaman dengan perasaan cemas mengubah gaya penampilannya agar tidak dikenali oleh para pengikut golongan Partai Merah. Partai Merah adalah partai yang diklaim dapat membawa kemakmuran bagi Aceh. Namun apa yang ditemukan Murad justru sebaliknya. Banyak anggota Partai Merah yang diperbudak jabatan dan memilih menyelewengkan jabatan. Kekecewaan-kekecewaan yang dialami Murad sejak kepulangannya, menjadikan dirinya sebagai pembenci golongan partai Merah yang terus menjadi buronan partai tersebut bahkan sampai ke daerah terpencil di Aceh.
Nilai-nilai perjuangan akan nasionalisme kental dalam novel ini. Namun, meski demikian unsur-unsur kolonial tidak dapat dihindarkan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Emma Rahmawati Fatimah bahwa dari karya-karya yang mengandung nasionalisme yang kuat justru dapat terlihat bentuk kolonialnya karena nilai-nilai tersebut tertanam dalam alam bawah sadar manusia. Neokolonialisme kental dalam novel karangan Arafat Nur, khususnya yang berkaitan dengan politik. Dalam Tanah Surga Merah, partai merah digambarkan sebagai partai adikuasa. Di Aceh, partai merah memiliki banyak cabang dengan orang-orang yang berpengaruh di daerah masing-masing. Hampir semua jabatan di pemerintahan daerah diduduki orang-orang partai merah. Kedigdayaan partai merah tersebut jelas menunjukkan bentuk kekuasaan yang tidak terkalahkan. Sayangnya, kekuatan tersebut tidak dipergunakan dengan baik, melainkan cenderung disalahgunakan oleh golongan tersebut.
Penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, tindakan sewenang-wenang sampai kekerasan adalah perbuatan yang lazim bagi golongan partai merah. Tindakan-tindakan tersebut adalah perilaku yang hanya menguntungkan satu pihak, sedangkan pihak lain dirugikan. Bentuk penjajahan yang dilakukan secara nyata digambarkan Arafat Nur melalui ketidakberdayaan Murad, tokoh utama dalam novel tersebut yang harus hidup dalam pelarian.
Murad sebagai makhluk yang harusnya mendapatkan kebebasan justru tidak pernah keluar dari jerat kekhawatiran karena teror orang-orang golongan partai merah. Dalam novel ini, Murad adalah representasi pihak yang terjajah, sedangkan Partai Golongan Merah adalah pihak yang menjajah atau pihak yang berlaku sewenang-wenang karena diperbudak materi atau kekuasaan.
Penulis :

Perempuan penyuka cerita yang gemar memotret dan memadukannya dalam sebuah kisah yang sering dibagi dalam media sosial pribadi miliknya.