Mengulang Noda 20 Mei

Ini bukan hanya saja soal sejarah yang jarang terkuak. Lebih dari itu, ia tercermin pada lekak-lekuk kekuasaan hari ini. Tersebar di berbagai daerah. Sejarah memang sesuatu yang berulang. Dan yang pasti manusia mudah melupakan sesuatu yang pernah berlalu. Apalagi mengambil hikmahnya.
Dimulai oleh Kabinet Hatta (1948-1949), yang perlu bertindak meredam gejolak. Ihwal berdasar perlawanan Tan Malaka dari Marxist Moerba dan Moh. Yamin dalam pembelaannya di Pengadilan. Disinyalir bara narasinya akan memecah bangsa, bersamaan kala itu dengan Perang Kemerdekaan 1945-1950.
Yang menjadi urgensi kemudian adalah kesadaran sejarah nasional perlu dibangkitkan. Tak dinanya, Budi Utomo dijadikanlah patronase. Tonggak hari lahirnya 20 Mei 1908 ditinta-emaskan menjadi Hari Kebangkitan Nasional. Meski saat itu didaulat, organisasi yang terlahir atas siswa STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen) itu sudah lama bubar.
Sampai hari ini kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional, sebagai pijakan dari hari lahirnya Boedi Utomo. Bangkit karena dipantik Budi Utomo. Seperti itu maksudnya. Sederhana.
Oleh H.Colijn, 1928 dalam Koloniale Vraagstuken Van Heden en Morgen (Pertanyaan Kolonial hari ini dan esok) dapat didedah fakta sejarah. Budi Utomo dibentuk pada Mei 1908 di Jakarta – berbadan hukum di tahun 1909, dengan keanggotaan 10.000an yang tersebar dalam 40 afdeelingen.
Awalnya, Soetomo kala itu ingin mencuatkan Nasionalisme Jawa sebagai ideologi organisasi. Namun pada Kongres Pertama, 3 Oktober 1908 di Jogyakarta ia tergantikan oleh Bupati Karanganyar, Raden Adipati Tirtokoesoemo (1908-1911).
Prof. Slametmuljana (1968) menjelaskan bahwa dalam Kongres kedua (11-12 Oktober 1909) masih di Jogjakarta. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo berusul, keanggotaan Budi Otomo dibuka seluas-luasnya. Bukan hanya bangsawan jawa, tapi seluruh anak hindia (Indiers). Sayangnya, itu ditolak mentah-mentah oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat.
Algemene Vergrading Boedi Utomo di Bandung 1915, mencatat sikap Jawanisme Budi Utomo dipertegas. R. Sastrowidjono sebagai ketua (Hoofdbeestur) memimpin seruan “Leve Pulau Djawa, Leve Bangsa Djawa, Leve Boedi Utomo.”
Menurut Pramoedya Ananta Toer, 1985 dalam Sang Pemula, Boedi Utomo memang didirikan sebagai upaya menandingi Djamiat Choir (17 Juli 1905) atas saran Bupati Serang P.A.A Achmad Djajadiningrat. Disini ada perang ideologis, antara Djawanisme kaum bangsawan yang diusung Boedi Utomo dengan ideologi Islam dari Djamiat Choir yang mengusung persatuan bangsa.
Di tahun berikutnya, melalui medianya Djawa Hisworo, Boedi Utomo menentang keputusan National Congres Centraal Syarikat Islam (Natico) di Bandung 1916. Keputusan Natico saat itu adalah menuntut adanya Self Government-Home Rule-Zelfbestuur (Pemerintahan Sendiri yang Merdeka).
Bahkan dalam kongres ke 20 tahunnya (6-9 April 1928), Boedi Utomo menolak pelaksanan cita-cita persatuan Indonesia. Mereka terbuka hanya untuk bangsawan jawa, terbuka untuk mereka yang hak-haknya dipersamakan dengan orang eropa (Timur asing dan Belanda), tidak untuk anak bangsa lainnya, yang terjajah lagi maha tertindas.
Apa yang tersibak dari dinamika tersebut?
Boedi Utomo notabene keanggotaannya adalah bangsawan Jawa, pejabat pangreh praja, Bupati – Regent. Makhluk-makhluk dalam itulah kebanyakan pelaksana kekuasaan kolonial Belanda. Mereka adalah representasi penjajah dalam model Indirect Rule System. Menikmati jua jajahan.
Mengapa bangsa ini terjajah hingga langgeng ratusan tahun, mereka jua adalah musababnya. Tangan penjajah terlalu kecil untuk menjamah limpahan hasil bumi bangsa ini. Butuh pribumi yang manut untuk mengeksploitasi bumi khatulistiwa yang kaya ini.
Tak sedikit pejabat Pangreh Praja, Regent menjadi Boneka penarik upeti, seraya memperbudak rakyat. Kekuasaan mereka adalah sekadar simbolitas belaka. Hanya mendengar, merangkak dan terkendali oleh jemari Tuannya-Penjajah seperti dilirik lagu Metallica, Master Of Puppets.
“Come crawling faster.. Obey your Master!”
Waktu terus berputar. Kini 20 Mei, bangsa ini terus memperingatinya. Sebab hari ini, tak sedikit pemimpin-pemimpin kita, kepala daerah, bak Pejabat Pangreh Praja, Bupati-Regent. Benderang mencerminkan seperti lakunya di jaman kolonial.
Tentu jika menilik secara gamblang pelbagai kebijakan mereka yang pro-kapitalis. Walau dibingkis kelabui lewat tampilan merakyat. Bahkan nyatanya menjadi penjajah sesungguhnya.
Jualan regulasi (Loan-Tied Law), Penggusuran tanah rakyat demi karpet merah bagi properti mewah, obral izin tambang, pajak mencekik leher, asing-nisasi aset bangsa, Dividen Profit terselubung bagi cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta segelintir kebijakan pro-kapitalis (penjajahan gaya baru) seperti lumrah distempel dalam perbuatan legal perangkat negara. Parahnya tindakkan mencuri itu dibungkus oleh judul ‘pembangunan’. Dikawal oleh media-media penjilat. Dan tentu banyak intelektual-kaum pemurni dibeli nurani dan mulutnya dari percik duit kejahatan itu.
Sebegitulah fakta terpapar adanya. Hari Kebangkitan Nasional dan kekinian adalah relevansi sebagai sejarah yang berulang.
Budi Utomo adalah pelajaran. Sejarah yang disusun atas nama ideologis karena ketakutan untuk berpikir konsekuensi logis. Sejarah yang disusun atas asumsi, diframing oleh seremonial periodik, sebagai realitas yang memaksakannya diterima baik dalam kemasan kebenaran.
Kenyataan ini mengingatkan saya pada Gie. Dalam pesimisnya Soe Hok Gie berujar,
“Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan, apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada. apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak akan lahir. Seolah-seolah bila kita membagi sejarah, maka yang kita jumpai hanyalah pengkhianatan. Seolah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup di atasnya. Ya, betapa tragisnya.”
Sampai detik ini, bangsa ini terus merayakan. Merayakan kebangkitan yang notabene sebenarnya keterjajahan. Ketertindasan yang terbalut seru-seruan hipokrit. Notabene gelontoran anggaran negara habis hanya untuk bermunafik-ria. Uang kegiatan habis, pamer nasionalis usai.
Memang sakit dan menyiksa nurani rakyat. Tapi itulah cara evolusi mengajar ideologi. Dan ideologi inilah yang akan membangkitkan kesadaran etis kita, yang mungkin saja akan kita pilih. Yang pada akhirnya mesti diwujudkan pada realisasi-realisasi politik.
Wallahu a’lam bishowab
Penulis :

Lahir di Raha, 21 Juli 1991. Pemuda asal Kabupaten Muna. Hobi membaca, menulis dan berpetualang.