Membincang Kematian dalam Dua Puisi Karya Irianto Ibrahim
Siapkah kau bersua dengan kematian?
Pertanyaan di atas membenak di kepala selepas membaca dua puisi karya Irianto Ibrahim. Judulnya: Perihal Kepergian dan Jalan Pulang. Saya tergelitik untuk menyelami maknanya kali ini. Namun sebelumnya, mari kita cecap bersama kedua puisi itu.
Pisau bedah yang saya gunakan bernama pendekatan struktural. Sebagaimana yang didefenisikan Pradopo, bahwa sebuah karya sastra adalah satu struktur yang memiliki susunan unsur yang bersistem. Di antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik. Saling menentukan. Saling bergantung. Kumpulan unsurnya bukan hal yang berdiri sendiri-sendiri. Melainkan saling terikat. Saling terkait.
Objek kajian pada teori struktural adalah sistem sastra yang dilakukan secara otonom. Di luar—terpisah—dari pengarang ataupun realitas sosialnya. Otonom yang dimaksud menandaskan struktur sastra bersifat satu kesatuan bulat. Tak dapat dipisah-pisahkan. Dengan kata lain, bagian-bagian pembentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar dari pada struktur itu. Sehingga, ruh dari pendekatan ini adalah memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur. Misalnya unsur lahir dan batin, yang menjadi fokus saya dalam menganalisis puisi Irianto Ibrahim di atas. Saya mulai dengan struktur lahir. Terkait bagaimana penyair menentukan diksi yang tepat dan bernyawa dalam puisinya. Karena kesadaran penyair sejati, menurut Maman S Mahayana, terlihat dari langkahnya memilih kata sebagai fondasi puisi.
Saya melihat Irianto Ibrahim memilih bahasa yang cenderung karib dengan percakapan sehari-hari. Mungkin ini sengaja untuk menampilkan kata-kata yang mengandung unsur orisinalitas sehingga menghasilkan poetic power. Beberapa diksi yang dipilih misalnya “saya” pada larik saya ingin dikuburkan/di sini. Atau, “Bicara” pada larik saya juga sudah bicara/kepada seorang penggali kubur/ merupakan pilihan diksi sederhana dan terdengar pasaran di zaman kiwari. Di saat penyair kekinian lebih memilih kata “aku” daripada “saya” agar terkesan lebih “nyastra”. Mengapa memakai kata “bicara” pada puisinya? Bukankah lebih manis memilih diksi: “Saya juga sudah berkata kepada seorang penggali kubur.”
Saya meyakini, beberapa pilihan kata di atas adalah bentuk perlawanan penyair pada sastra hari ini. Pada citra sastra yang pada sebagian pandang, menggiurkan pemakaian diksi yang terlampau mendakik-dakik. Atau, terlalu dimaniskan-maniskan dalam mengejewantah makna. Irianto berbeda, dan mungkin ingin tampil beda. Saya menyimak kata-kata yang digunakan, meskipun sederhana, namun menyimpan kekuatan simbolik dan makna yang mendalam.
Penyair lebih memilih menggunakan kata-kata yang kongkrit dan karib dengan keseharian. Dengan penggambaran yang banyak didominasi yang oleh citraan visual. Misalnya pada bait: suatu hari nanti/saya ingin dikuburkan/di sini//di gundukan/tanah pada sepetak kebun/peninggalan bapak. Beberapa larik simbolik juga digunakan dengan elegan. Terutama pada puisi “Jalan Pulang”. Saya akan menunjukan bagian-bagian simbolik itu pada penjabaran struktur batin tulisan.
Oke, kita masuk pada struktur batin. Struktur ini meliputi tema, perasaan (feeling), nada dan suasana, serta amanat.
Perihal kematian. Tema itu yang saya lihat dari dua puisi di atas. Atau, berkisah tentang bagaimana manusia menyongsong misteri pada ujung usia. Saya menafsirkan demikian, karena penyair jelah menceritakan—pada puisi pertama—ikhwal keinginaan tokoh “saya” dikuburkan pada sepetak kebun peninggalan bapaknya. Dilanjutkan dengan tata rencana pembuatan nisan serta harapan pada pelayat, agar tidak mengenangnya dengan air mata. Terakhir, ditutup dengan bait: biarkan arwahku tenang/menghadap sang kekasih/dengan senyum/dan doa-doa.
Puisi kedua pun berbicara sama. Dimulai dari pertanyaan “Masih berapa lama lagi?” Menukik ke penggambaran napas yang nyaris putus di antara rapalan doa-doa dan rasa takut.
Saya menghidu aroma kematian, yang menjadi atmosfir dan melingkupi keseluruhan puisi. Mari kita bergerak pada judul. Yang disarankan oleh Prof. Dr. Mursal Esten, guna memahami karya sastra: “Perhatikanlah judulnya. Judul adalah sebuah lubang kunci untuk keseluruhan makna puisi.”
Sepintas, dalam memaknai kematian, saya melihat bentuk paradoks dari dua judul yang dipilih. Apakah kematian dipandang sebagai jalan menuju (perihal kepergian) atau jalan pulang?
Pada puisi pertama, kematian digambarkan sebagai jalan pergi menghadap sang kekasih. Di puisi kedua, di bait ketiga, masih sama sebagai gerak menuju: tak bisa kubayangkan/langit manakah yang akan kita tuju.
Baru pada bait keempat, “Jalan Pulang” adalah gerak kembali melihat wajah sendiri. Jauh dan dekatnya sebuah perjalanan kematian, terang dan gelapnya alam pasca kehidupan dunia, sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas diri. Penyair menjelaskan dengan simbolik: malah yang tampak kini/adalah wajah sendiri/ke mana pun menoleh/yang kulihat hanyalah tubuh/debu yang diterbangkan angin.
Unsur berikutnya adalah perasaan (feeling) yang disebut Waluyo, sebagai suasana perasaan penyair yang ikut diekspresikan dan mesti dapat dihayati oleh pembaca. Tentu setiap penyair punya interpretasi yang berbeda. Lain lubuk lain ilalang, lain penyair lain pula kegelisahan hati dan pikirannya dalam memandang satu fenomena. Meskipun pada hal yang jamak diketahui.
Perihal kematian misalnya. Ada yang menganggapnya sebagai momok yang menakutkan, ada juga yang menunggunya dalam rapal kerinduan. Ada yang menilai kematian dalam bingkai determinisme takdir. Tak sedikit juga yang meyakininya sebagai konsekuensi dari pilihan bebas (free will) manusia.
Dalam puisi berjudul “Perihal Kepergian”, sangat terlihat bagaimana penyair memosisikan dirinya di hadapan kematian. Pasrah dan tersaput papa. Ia hanya ingin pergi menjemput kematian dengan sederhana adanya. Lewat liang kuburan yang tak terlalu dalam dan seukuran badan. Dengan nisan bertuliskan huruf-huruf kecil saja. Itu pun lokasi yang dipilih adalah sepetak tanah peninggalan bapak. Benar-benar peniadaan diri. Benar-benar pemutusan atribut dunia (material) melalui diksi: dengan tanggal yang disamar-kan/penanda waktu/yang hanya sebentar ini. Juga pada bait ketiga: seukuran badan saja/untuk membaringkan/jasad yang fana ini.
Yang menarik ada pada bait terakhir. Dan ini menjadi kunci serta tujuan mengapa hal-hal pada bait-bait sebelumnya dilakukan. Mengapa pula sang tokoh mesti berpesan kepada para pelayatnya nanti, agar jangan menangis. Ini alasan utama perihal kepergian. Dalam tinjauan psikologis, Victor Frankl menyebut bagian ini sebagai penyempurna eksistensi manusia. “Tanpa penderitaan dan kematian, kehidupan manusia belum bisa dikatakan sempurna”, tulis pengusung logoterapi itu. Tulis Irianto Ibrahim pada puisi “Perihal Kepergian”, kematian yang diidam-idamkan ada pada larik: biarkan arwahku tenang/menghadap sang kekasih/dengan senyum/dan doa-doa.
Pada puisi kedua, saya coba menelaah tentang sisi nada. Yaitu sikap penyair dalam menyampaikan puisi terhadap pembaca. Apakah dia bersikap menggurui, menasehati—kata Waluyo—atau malah menyindir, bersikap lugas. Suasana merupakan keadaan jiwa pembaca setelah menikmati puisi. Bisa diartikan juga sebagai efek psikologis yang ditimbulkan puisi terhadap pembaca.
Puisi “Jalan Pulang”, terlihat benar penyair jauh dari sikap menggurui. Puisi ini, menampilkan dialog antara dua tokoh yang berbincang tentang masa di ujung waktu (detik-detik kematian). Tokoh yang satu bertanya, “masih berapa lama lagi?” Lalu dilanjutkan dengan kondisi tokoh utama yang sebentar lagi mengembuskan napas terakhirnya. Kata-kata yang patah/napas yang nyaris putus/di antara doa-doa dan rasa takut.
Dialog ini saya tafsirkan bersifat universal dalam bahasa simbolik. Di mana tokoh yang satu adalah wujud kuasa, pemilik rahasia kematian. “Masih berapa lama lagi?” adalah pertanyaan peringatan kepada tokoh utama yaitu manusia universal.
Sebagaimana umumnya manusia yang mendengar lonceng kematian, ada perasaan gamang yang mendera. Akan terbang ke mana ruhnya nanti ketika berpisah dari jasad? Disimbolkan dalam larik: tak bisa kubayangkan/langit manakah yang akan kita tuju.
Lalu sang manusia menunjuk ke dirinya sendiri. Sebagai wujud pengenalan kualitas diri. malah yang tampak kini/adalah wajah sendiri. Seakan-akan penyair ingin berkata, ketika manusia hendak menerawang nasibnya di langit (akhirat), maka citra yang terpantul adalah wajahnya (jiwa) sendiri. Lihatlah kembali ke dalam dirimu, jika indah, maka keindahan pula yang kau tuai di kehidupan setelahnya. Begitu pun sebaliknya.
Di tengah perenungan tentang kualitas diri, puisi ini kembali menyentak manusia di larik berikutnya: ke mana pun menoleh/yang kulihat hanyalah tubuh/debu yang diterbangkan angin.
Bagian ini menurut saya, mengantar puisi pada satu amanat agung. Pesan untuk kemanusiaan. Bahwa tubuh (materialisme) yang sering merampas waktu dan pikiran manusia di dunia, tak ubahnya debu yang diterbangkan angin. Akan sia-sia di singgasana kematian.
Terakhir dari puisi “Jalan pulang” adalah larik: “apakah kita hampir sampai?” Ini menjadi satu kesatuan yang utuh, di mana puisi ini berawal dari pertanyaan, lalu berakhir pula dengan pertanyaan.
Diksi “kita” ditujukan untuk manusia universal. Sebagai peringatan agar manusia lekas mengenal diri. Sudah sejauh mana kita melangkah? Manusia adalah makhluk bidimensional. Tersusun dari unsur langit (tiupan ruh-Nya) dan unsur tanah tembikar (debu). Tarik menarik antara dua kekuatan inilah yang menentukan wajah (jiwa) paripurna manusia. Apakah dia lebih dekat dengan unsur langit (jiwa yang tenang) ataukah masih sama dengan bait sebelumya, tersungkur pada debu yang diterbangkan angin.
Seketika saya teringat film Kungfu Panda 3 yang tempo hari ditonton oleh anak saya. Ini mungkin bisa jadi selaras dengan amanat puisi di atas. Perihal Master Ohgwey (tokoh kura-kura tua) yang bersemedi selama 30 tahun untuk menemukan jawaban atas satu tanya: “Siapakah aku?”
Penulis :

Papa muda, anak tiga. Aktivif dalam dunia pendidikan bersama Sekolah Jelajah Dunia. Senang membaca dan menulis.