Melihat Selarasnya Manusia dan Alam pada Film Semesta
Karena jumlah layar yang terbatas, tidak semua orang jadi berkesempatan menikmati film Semesta. Saya harus menempuh jarak yang lumayan jauh menuju Jwalk Mall Yogyakarta. Tempat pemutaran Semesta. Dari rumah, ada sekitar 2 jam untuk sampai di lokasi pemutaran.
Mumpung lagi di Jogja, kesempatan ini tentu tidak akan saya lewatkan. Ambisi saya untuk menonton film ini tidak terlepas dari isu yang diangkat; yaitu isu ekologi. Di bawah bendera rumah produksi Tanakhir Film, Nicholas Saputra dan Mandy Marahamin sebagai produser ingin hadir untuk mengetuk pintu kesadaran kita yang masih bebal terhadap isu yang krusial ini.
Berdasarkan hasil riset dari YouGov-Cambridge Globalism Project, 18 (delapan belas) persen dari 1001 (seribu satu) masyarakat Indonesia tidak percaya bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya “perubahan iklim” disebabkan oleh manusia itu sendiri. Dan berdasarkan riset tersebut, dari 23 (dua puluh tiga) negara, Indonesia menjadi negara teratas yang tidak percaya perubahan iklim akibat ulah manusia, disusul Arab Saudi 16 (enam belas) persen dan Amerika 13 (tiga belas) persen. Hal ini tentu saja mengejutkan. Mengingat betapa nyatanya perubahan kondisi alam semesta akibat perubahan iklim.
Kehadiran film Semesta, diharapkan menjadi titik balik dan juga upaya untuk menyadarkan kita semua tentang pentingnya menjaga alam. Sehingga dapat mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim.
Film ini bercerita tentang tujuh orang dengan latar kehidupan berbeda-beda. Yang berusaha untuk merenungi keberadaan mereka sebagai seorang manusia agar dapat hidup selaras dengan alam semesta. Yang kemudian dimanifestasikan menjadi sebuah tindakan yang bertujuan untuk menyelamatkan keberadaan alam dan manusia.
Dimulai dari kisah perenungan Tjokorda Raka Kerthyasa, di Tanah Dewata, Bali. Ia bersama seluruh masyarakat Bali menjadikan Hari Raya Nyepi sebagai momentum “jeda” bagi alam semesta. Tjokorda Raka dan masyarakat Bali, meyakini Nyepi sebagai “koma” untuk dunia yang tak pernah berhenti. Meskipun hanya sehari, tetapi Kesempatan ini secara nyata mampu menepikan ketergantungan penggunaan listrik, transportasi, dan industri yang ternyata sangat berdampak baik terhadap pengurangan emisi harian di Bali.
Bertolak dari Bali, perahu perenungan membawa kita berlabu menuju “Pulau Seribu Sungai”, Kalimantan. Agustinus Pius Inam, seorang Kepala Dusun Sungai Utik, Kalimantan Barat. Bersama-sama dengan masyarakatnya, ia masih terus merawat sebuah tradisi “menjaga hutan Kalimantan”. Bagi mereka, tanah adalah Ibu sedangkan air adalah darah.
Kisah perenungan selanjutnya berada di pelosok Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Kisah pembuatan pembangkit listrik tenaga “hidromikro” yang diinisiasi oleh Romo Marselus Hasan. Selain memanfaatkan air sebagai tenaga yang ramah lingkungan, aktifitas ini juga dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap minyak bumi yang digunakan pada generator sebagai tenaga yang hanya memberikan cahaya di rumah-rumah warga pada jam-jam tertentu.
Selanjutnya, jauh di Timur Indonesia, ada seorang perempuan yang memprakarsai kerja-kerja ekologi. Ia adalah Almina Kacili, kepala kelompok wanita gereja di Kapatcol, Papua Barat. Melalui kesepakatan perempuan-perempuan gereja, mereka menginisiasi terbentuknya “Sasi” sebuah wilayah konservasi perairan yang bertujuan melindungi biota laut. Lebih dari itu, terbentuknya Sasi juga berhasil menggerakkan ekonomi masyarakat di daerah tersebut, terutama kaum Ibu.
Selepas dari Timur, bergegas ke arah yang berlawanan, di Barat Indonesia, “Negeri serambi Mekah”, Provinsi Aceh. Namanya Yusuf, seorang berjiwa muda yang taat beragama, keliling berdakwah dengan saling mengingatkan dalam kebaikan, mengajak masyarakat untuk berdamai dengan alam. Karena ia menyadari adanya perubahan perilaku alam, seperti semakin seringnya gajah-gajah memasuki wilayah perkebunan masyarakat.
Di Imogiri, Yogyakarta, ada kisah menarik dari Iskandar Waworuntu. Seorang yang memilih hijrah ke sebuah tempat yang ia sebut sebagai Bumi Langit. Dengan sebidang tanah kering, di sana Iskandar menciptakan perkebunan dan juga ruang untuk menyaksikan pentingnya hidup sejiwa dengan alam semesta. Ia percaya bahwa manusia sebagai khalifah yang memegang tanggung jawab mengurus dan mengelola serta menjaga keseimbangan alam.
Sebagai penutup, kisah datang dari perenungan seorang petani di Jakarta, Soraya Cassandra. Ia mendirikan “Kebun Kumara”, sebuah tempat yang memberi kesempatan pada masyarakat kota untuk merasakan kegiatan bercocok tanam. Ia pecaya bahwa, jika masalah perubahan iklim banyak berasal dari kota, maka sudah seharusnya kota memiliki solusi. Bagaimanapun, menjadi masyarakat urban tidak berarti harus terputus dengan alam.
Tujuh kisah perenungan dari film ini, sesungguhnya mencoba menyadarkan kita, bahwa masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk merawat dan menyelamatkan lingkungan dan juga hidup kita dari perubahan iklim. Dan sebagai penikmat, saya terhipnotis dengan keindahan gambar yang disuguhkan oleh sutradara Chairun Nisa dan juga mengapresiasi keberaniannya dalam mengambil protagonis-protagonis yang tidak populis dalam film ini.
Dengan layar yang kembali memutih, dan lampu studio yang kembali dinyalakan, saya baru menyadari, ada banyak kursi yang duduk sendiri tanpa terisi penonton. Kursi-kursi kosong ini adalah penanda bahwa isu ekologi belum menjadi sebuah kesadaran kolektif bagi kita. Ya! KITA!
Semoga film Semesta bisa tayang dalam layar yang lebih variatif sehingga mampu menjangkau pononton yang lebih luas lagi.
Penulis :

Freelancer Audio Visual, Mahasiswa Part Time, Mencintai Manchester City Full Time.