Manusia, Uang dan Belenggu

Manusia terlahir dengan sayap kebebasan. Sayap itu benar-benar berfungsi untuk digunakan ketika manusia beranjak dewasa. Namun bak koin yang memiliki dua sisi, seiring bertambah dan bertumbuhnya usia dan bobot otak, kebanyakan manusia justru mematahkan sayapnya sendiri. Membiarkan dirinya terjebak dalam hari-hari penuh bosan. Dengan sengaja menjerumuskan jiwa bebasnya ke dalam hari-hari yang di detakkan oleh angan-angan kosong; money for life.
Memang tak bisa dimungkiri bahwa hidup butuh uang. Makan, harus ada uang. Mau baju? Musti beli, pakai uang…bukan daun gamal. Bahkan berak di wc umum pun butuh uang. Uang adalah tali yang mengikat sendi-sendi kehidupan manusia, nafas bagi kelanjutan hidup. Ia hal tak bernilai yang disepakati untuk diberi nilai. Dan suka tidak suka, sadar tidak sadar…fungsi lain dari kertas dan recehan itu adalah sebagai benda tajam yang selalu siap menunggu para manusia dewasa untuk memotong sayap kebebasannya.
Maka berbahagialah mereka yang tetap teguh mempertahankan sayap kebebasannya. Sayap kuat yang mampu membawanya pergi kemana hatinya suka. Sayap kuat yang tak membatasi pergerakannya. Mereka adalah jiwa-jiwa merdeka. Jiwa-jiwa yang lepas dari belenggu rutinitas membosankan yang berulang tiap waktu. Mereka kerap pergi dan pulang dengan rasa bangga akan pengalaman-pengalaman baru, kegiatan-kegiatan baru.
Di lain sisi, mereka yang memilih memotong sayapnya, terjebak di tempat yang itu-itu saja. Mereka merangkak untuk pergi namun rangkakannya tertahan oleh rutinitas yang mengikat kakinya dengan keras. Manusia-manusia yang kehilangan sayap ini hanya bisa menengadah ke langit, menatap manusia merdeka yang terbang dengan sayap bebasnya sembari sesekali menumbuhkan harapan palsu pada diri mereka sendiri. Mereka berucap di dalam hati, “mereka yang bersayap tak punya tujuan, kami memiliki tujuan yang jelas.” Namun tetap saja meski berkali-kali meyakinkan diri dengan kalimat palsu itu, di dada mereka ada rasa muak dan jemu. Ada rasa gelisah dan perasaan tak berkutik.
Demikianlah manusia. Terlahir dengan kemurnian lalu bertumbuh dan tercemar. Entah oleh keadaan atau memang Tuhan yang berkehendak demikian. Entah!
Penulis :

Lelaki bertangan kidal yang lahir dan bertumbuh di bumi anoa 24 tahun lalu, tergabung dan aktif dalam lingkaran literasi Rumah Bunyi. Ia adalah lelaki yang tidak menikmati obrolan penuh basa-basi.