Kau Baca Sajalah Supaya Kita sama-sama Terbakar
Kawanku Sean, langit di tempat kita bertumbuh sedang muram. Awan-awan gelap menaungi tanah desa. Entah peristiwa ini harus saya sambut dengan bahagia karena ketika surat ini saya tulis, bumi kita yang kering dan tanah yang retak-retak sedang terbasahi hujan yang kerap kita tunggu. Ataukah seperti yang lalu-lalu, sebagaimana kawan yang sangat kau kenali, kawan yang merespon segala hal dengan keluhan. Saya basah kuyup dalam perjalanan pulang.
Meski kesal, tak bisa saya pungkiri bahwa hujan kali ini amat menyejukkan. Setidaknya untuk saat ini. Tidak bisa pula saya tepis bahwa hujan ini adalah apa yang didamba bagi para petani di tanah tempat kita menjalani masa kanak-kanak, tanah desa kita. Mereka pasti senang, sebab debu-debu pertambangan seketika lenyap dilumat tanah yang basah, tidak lagi mereka saksikan tanah sawah yang retak, dedaunan dan padi-padi yang mengering. Setidaknya untuk saat ini. Dan celakalah saya kalau masih berniat untuk mengeluh atau bahkan mengumpat atas berkah yang hinggap di dada petani desa kita!
Kawanku Sean, bagaimana dengan Jakartamu? Apakah di Jakarta yang padat itu juga turun hujan? Semoga saja tidak. Supaya kau tak perlu berbenah. Supaya kau tak kerepotan. Supaya kau tak susah payah menyiasati banjir dan punya waktu luang untuk membaca surat ini.
Kau masih ingat Didi, kan? Teman semasa SMA kita itu. Ibunya terbaring sakit. Kata dokter, ia musti di operasi. Saya pun tak tahu jelas mengenai penyakitnya. Dan Pak Mirdan, ayah si Didi itu, tentu kau ingat juga kan? Ia pernah bercerita padaku kalau ia sudah tidak sanggup menampung resah di dadanya. Ia pernah membuat kios kecil, di kios itu ia meletakkan mimpi-mimpinya, namun tak sampai sebulan kios itu harus tutup, tak ada pembeli. Ia kalah saing dengan mini market. Tunggu… kau tak tahu kan kalau di desa kita sudah ada mini market? Ya, pasti kau tak tahu. Sejak kepergianmu, ada banyak yang berubah dari desa kita.
Baik, saya ceritakan sedikit saja. Di desa kita ini makin banyak penghuninya. Entah dari mana datangnya mereka, yang pasti mereka bukan orang-orang yang turun temurun di desa kita. Kita kita ini yang telah sangat lama di desa rasanya justru bak penghuni baru. Bicara soal penghasilan, jangan ditanya. Susah! Di desa kita juga sudah ada mini market, milik salah satu konglomerat di negeri tercintamu. Saya telusuri dalam sebuah situs, pendapatannya di tahun 2016 mencapai RP 22.658 triliun. Mini market dengan pendingin ruangan dan barang-barang yang lengkap, juga dengan harga yang jauh lebih murah. Kau pasti tak asing dengan tempat seperti ini, tapi bagi warga desa kita? Mini market ini terlihat mewah dan sudah bisa kau tebak mengapa kios Pak Mirdan, ayah kawan kita itu gulung tikar.
Pak Mirdan sempat beralih jadi petani rumput laut. Di sana ia menaruh harap yang sangat besar. Kau tak heran kan mengapa harapannya sebegitu besar? Seperti yang kita ketahui, desa kita memang salah satu penghasil rumput laut dengan kualitas yang oke punya. Bagai rumput laut yang terikat ke tali lalu menggantung tumbuh subur di lautan, seperti itu pula harapan Pak Mirdan. Tapi mari ku ceritakan lagi, sedikit saja mengenai desa kita saat ini. Segala hal yang kau ketahui tentang desa ini, agaknya hanya bisa kau temukan dalam ingatanmu, dalam mimpimu dan foto-foto kita sewaktu kecil.
Ya, pada akhirnya Pak Mirdan datang kembali menceritakan beban di bahunya yang sudah keterlaluan. Sudah bisa kutebak, bahkan saat ia mengutarakan niat untuk menjadi petani rumput laut. Kau tahu Sean? Hasilnya kosong melompong. Kapal-kapal pengangkut nikel yang besar itu terus menerus menerobos area penyebaran rumput laut. Hasilnya sudah bisa kau tebak. Gagal panen! Maka rusaklah harapan mereka, sementara Pak Mirdan yang tua itu? Ah!
Begitulah, hingga hari dimana Pak Mirdan memutuskan membunuh istrinya karena tak tega melihatnya menderita. Sedang Pak Mirdan sendiri bunuh diri setelah itu. Dan Didi yang malang menjadi gila karena kejadian itu.
Tak ada lagi yang bisa kita perbuat. Sementara hidup terus berlanjut dan penghasilan begini-begini saja. Tak jelas! Dapatlah saya katakan bahwa kita ini bagai penduduk ilegal di tanah dan negara kelahiran kita sendiri. Kita adalah anak tiri ibu pertiwi. Negara terus menerus memajaki kita, sementara kita akan lapar, butuh makan dan kita tak tahu musti mencari ke mana.
Oleh sebab itu, pulang dan pimpinlah kami. Seperti yang pernah kau lakukan, menyalakan api perlawanan! Kali ini bukan hanya kamu, warga desa kita yang meremehkan tindakanmu dulu pun telah memutuskan untuk bergabung dalam barisan. Maka cepatlah pulang, sudah waktunya kau kembali. Sekarang, kau musti menunaikan kewajibanmu, mengarahkan sasaran dari api perlawanan yang telah menyala-nyala!
Balasan suratmu sangat saya tunggu.
Dari kawanmu, Fajar.
Penulis :

Lelaki bertangan kidal yang lahir dan bertumbuh di bumi anoa 24 tahun lalu, tergabung dan aktif dalam lingkaran literasi Rumah Bunyi. Ia adalah lelaki yang tidak menikmati obrolan penuh basa-basi.