Jurnalisme Data: Menemukan Kembali Relevansi Media dan Publik
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, terminologi ‘jurnalisme data’ menjadi ramai dibicarakan ketika membahas genre baru pelaporan berita di media massa. The Guardian dan New York Times menjadi pembuka jalan kepopuleran istilah ‘jurnalisme data’ ketika menganalisis dan mempublikasi data dari WikiLeaks pada tahun 2010. Kedua media ini melakukan klasifikasi data berdasarkan topik, tempat, dan peristiwa terhadap 92 ribu kolom data excel terkait perang Afganistan yang terjadi sejak tahun 2004 hingga 2009.
Di Indonesia sendiri konten pelaporan berita dengan gaya jurnalisme data diproklamirkan oleh Katadata.co.id pada tahun 2012. Tren ini kemudian berkembang dengan kemunculan media-media daring sejenis yang secara berkelanjutan mempraktikan metode kerja jurnalisme data dalam konten berita mereka, seperti Beritagar.id yang kini telah berganti nama menjadi Lokatada.id dan juga Tirto.id.
Sebenarnya, laporan jurnalistik berbasis data bukanlah hal yang baru. Skema panjang penggunaan data dalam karya jurnalistik membuat sejumlah pakar menganggap terminologi ‘jurnalisme data’ sebagai pakem lama dalam karya jurnalistik. Sebelumnya, di Indonesia, majalah Tempo dan Harian Kompas telah menggunakan data dan infografis untuk menyajikan berita. Keduanya merupakan media cetak besar di Indonesia yang memiliki divisi penelitian dan bank arsip yang mapan. Namun kedua media ini hanya melakukan pendataan, dan bukan pada pemrosesan serta penarasian data, apalagi pelibatan big data – sekumpulan set data yang sangat besar dan dapat diolah untuk menemukan pola, tren dan asosiasi yang berhubungan dengan perilaku dan interaksi manusia.
Lalu bagaimana jurnalisme data dianggap berbeda dengan pakem jurnalisme konvensional? Berdasarkan kamus Oxford, jurnalisme adalah kegiatan atau profesi menulis untuk surat kabar, majalah, atau situs berita atau menyiapkan berita untuk disiarkan. Sementara data adalah fakta dan statistik yang dikumpulkan bersama untuk dilakukan referensi atau analisis. Dari kedua definisi itu, frasa jurnalisme data kemudian dihadirkan untuk tujuan yang sedikit berbeda dengan jurnalisme secara umum. Istilah jurnalisme data menggambarkan proses jurnalisme berdasarkan pada analisis dan penyaringan set data untuk membuat berita. Lebih jauh, pandangan para pakar seperti yang dirangkum Liliana Bounegru, menyebutkan bahwa perbedaan praktik jurnalisme data terletak pada bagaimana data tersebut menjadi inti cerita dalam karya jurnalistik.
Model pelaporan berita dengan menarasikan data tersebut pada akhirnya memengaruhi praktik ruang redaksi media. Philip Meyer menyebutkan bahwa proses dari pelaporan jurnalisme data melibatkan dua level: Pertama, menganalisis data dan memahami konteks cerita; kedua, memvisualkan data dan temuan. Lebih detail, Alexander Howard menyebutkan pelaporan jurnalisme data melibatkan proses seperti mengumpulkan, membersihkan, menganalisis, memvisualkan hingga mengolahnya menjadi sebuah karya jurnalistik. Praktik ini ia sebut sebagai pengimplementasian data science dalam ruang redaksi.
Perubahan cara kerja pada ruang redaksi ini dianggap sebagai tantangan tersendiri bagi para jurnalis. Adek Media Roza seperti dikutip katadata.co.id mengungkapkan bahwa seorang jurnalis data, dituntut akrab dengan angka dan perhitungan. Namun ada keengganan sebagian jurnalis untuk bermain angka, akibatnya, kemampuan untuk menganalisis data pun menjadi sangat terbatas bahkan untuk menemukan isu dalam sebuah rangkaian angka. Selain itu, jurnalis data dituntut akrab dengan piranti seperti spreadsheet atau excel yang menjadi piranti utama pengolah angka.
Tantangan ini coba dijawab oleh Katadata.co.id dengan cara mengkolaborasikan tim redaksi dan tim data dalam pelaporan berita. Tim redaksi bertugas melakukan reportase lapangan dan penulisan berita, sementara itu tim data mengolah data menjadi berbagai bentuk seperti grafik atau dalam rubrik khusus seperti Analisis dan Bicara Data. Lokadata.id menerapkan pola yang sedikit berbeda, selain memiliki tim redaksi dan tim data, media daring ini juga menempatkan jurnalis data yang bertugas tidak hanya menguasai reportase namun juga mampu mengartikulasikan data menjadi sebuah narasi.
Meski memiliki pola kerja yang lebih rumit dibandingkan dengan jurnalisme konvensional namun pengimplementasian jurnalisme data dalam pelaporan berita dianggap sebagai jawaban untuk menemukan kembali relevansi antara media dan publik di tengah maraknya hoax dan disinformasi.
Selama ini, otoritas media untuk menyampaikan informasi telah terdisrupsi oleh kehadiran media sosial. Sehingga kerja jurnalisme data diharapkan mampu mengembalikan kembali fungsi verifikasi media dan mempertahankan kepercayaan publik kepada pers. Selain itu, Jurnalisme data juga menjadi filter bagi publik dalam melihat isu secara komprehensif di tengah semerawutnya lalu lintas informasi yang hadir di ruang publik.
Penulis :

Freelancer Audio Visual, Mahasiswa Part Time, Mencintai Manchester City Full Time.