Indielogis Vol.5: Telusur Sejarah Kota Kendari
Saat peringatan hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74 di tahun 2019, komunitas Indielogis berinisiatif untuk menghadirkan sebuah kegiatan yang berkenaan dengan sejarah Kota Kendari, terutama sejarah kemerdekaan dan prakemerdekaan di Kendari. Indielogis merupakan laboratorium penerapan industri kreatif yang mandiri berbasis komunitas.
Ada 5 fase atau periodesasi yang kami suguhkan sebagai titik penelusuran tersebut. Fase Kerajaan Laiwoi, Kekuasaan Belanda, Pendudukan Jepang, Revolusi, dan NKRI (Penghapusan Swapraja). Secara parsial, kegiatan ini hanya mengambil dan menyuguhkan tentang sejarah dan peristiwa masa lampau yang terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Kegiatan ini berupaya menghadirkan informasi berupa jejak dan bukti sejarah yang menjadi warisan generasi untuk hari ini, penting untuk dikenali, diketahui oleh umum untuk dijaga kelestarian dan keberlangsungannya. Menjadi ruang bersama untuk menyelesaikan diskursus yang hampir tak pernah selesai pada satu kesimpulan sejarah, mengenai perbincangan yang berhubungan sejarah Kendari sebagai sebuah peradaban di masa silam, sebelum dan setelah dikunjungi oleh orang-orang Eropa. Bagaimana interaksi dan sejarah kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa di Kendari dan sekitarnya hingga berlakunya penghapusan Swapraja dan bergabung dengan NKRI. Bagaimana Jepang sebagai sebuah kekuatan perang yang menjadikan Kendari dan wilayah teluknya sebagai posisi yang sangat strategis dalam menjalankan strategi perang menghadapi perang dunia kedua.
Kegiatan dilaksanakan dengan dua agenda utama. Hari pertama, Pada tanggal 17-08-2019 dilaksanakan diskusi yang menghadirkan akademisi, penulis buku-buku sejarah, budayawan, penggiat masyarakat adat, pemerhati sejarah dan pelaku sejarah itu sendiri. Hari kedua, Pada tanggal 18-08-2019, kegiatan berupa napak tilas atau telusur sejarah dengan mengunjungi situs dan tempat-tempat yang berkenaan dengan kegiatan yang telah dirancang (Taman Makan Pahlawan, Makam Raja Saosao, Bunker dan meriam peninggalan Jepang, dan Titik Nol Kilometer yang berada di Kawasan Kota Lama Kendari). Kegiatan Indielogis Volume 5 diharapkan menjadi sebuah simpul dan ruang untuk mengenali dan mengetahui informasi yang sangat penting tersebut. Sebagai gerakan sosial masyarakat urban, komunitas yang berhimpun dalam Indielogis berupaya mengambil peran kecil untuk memfasilitasi dan menjadi ruang edukatif bagi generasi, bagi siapa saja.
NYALA DISKUSI SEJARAH KENDARI
Acara dimulai sekitar pukul 19.30 WITA. Dibuka dengan pemutaran film dokumenter tentang sejarah Kendari. Setelahnya, saya selaku wakil dari Indielogis tampil untuk menyampaikan prolog tentang gerakan Indielogis. Setelah itu, Kahar Mappasomba (pendiri rumah bunyi) selaku moderator mengambil alih lalu memulai jalannya diskusi. Patta Nasrah (budayawan), Endry Tekaka (penggiat masyarakat adat) dan Basrin Melamba (akademisi dan penulis buku sejarah) sebagai narasumber naik satu persatu. Kecuali Bapak Masyhur Masie Abunawas yang tepat pukul 20.00 WITA mengkonfirmasi berhalangan hadir.
Diskusi berjalan hangat. Sangat hangat! jejak suasana kehangatan diskusi malam itu bisa disimak melalui dokumentasi foto, video, dan reportase di official sosial media Indielogis. Diskusi sempat meluas meloncati pra tahun 1832, tahun dimana seharusnya menjadi titik berangkat yang telah ditentukan oleh tim telusur untuk mengulas sejarah Kendari, sebagaimana yang terpampang dalam infografis sejarah hasil penelusuran Indielogis di pintu masuk lokasi acara berlangsung. Sebuah titik tahun sejarah memang lahir karena ada keterhubungan dengan titik-titik tahun sebelumnya, saling mempengaruhi. Hal tersebut yang membuat diskusi sangat berpotensi berlangsung dinamis. Dalam kondisi demikian, moderator memberikan kesempatan pada narasumber mengulas peristiwa sejarah pada loncatan-loncatan tahun yang tak beraturan.
Audiens nampak menikmatinya, menunggu kemungkinan narasumber untuk kembali membicarakan detail peristiwa di tahun 1832. Sebab, hal ini mungkin disebabkan karena tidak pernahnya terhelat diskusi terbuka secara umum tentang sejarah Kendari, baik dari pihak pemerintah maupun selingkar wilayah kampus. Peserta diskusi sangat khidmat, menikmati dalam selimut penasaran tentang sejarah Kendari.Diskusi berlangsung hingga pukul 23.30 WITA. Ada beberapa catatan penting hasil dari diskusi ini.
Pertama, dari Patta Nasrah yang mengungkapkan bahwa membicarakan sejarah, kita bisa berkaca pada Restorasi Meiji. Kita bisa saja sepakat mengubur luka sejarah untuk menghadirkan kesepakatan-kesepakatan sejarah baru yang mencerahkan. Dampak dari Restorasi Meiji memang terjadi banyak pembaharuan di bidang militer, pendidikan, perdagangan, dan industri di Jepang. Masa depan Jepang jadi bercahaya. Yang dulunya terkesan sebagai negara yang terisolasi, kini negeri sakura itu menjadi negara yang terbuka. Jepang kini juga menjadi negara modern yang sejajar dengan negara-negara Eropa dan Amerika.
Kedua, dari Basrin Melamba yang mengulas tentang penanggalan ulang tahun Kota Kendari yang perlu ditinjau ulang. Baginya, penanggalan ulang tahun Kota Kendari sangat kolonial sentris. Kita bisa mengambil penanggalan tahun lahir Kendari dari ragam serapan peristiwa sejarah dan budaya lokal. Sebab Kendari lahir dari hasil proses yang panjang dengan peran komunitas lokal di dalamnya.
Ketiga, dari Endry Tekaka yang mengungkapkan rencana akan dibangun ulangnya Laika Aha Kerajaan Laiwoi atau Rumah Tinggal Raja Laiwoi sebagai tempat untuk melestarikan adat dan kebudayaan Kendari.
Usai diskusi, Askar Baiduri selaku Direktur Indielogis tampil untuk menyerahkan plakat kreatif karya Bikania Kendari sebagai kenang-kenangan dan ucapan terimakasih kepada para narasumber dan pemilik kedai Bapocha yang telah menyediakan ruang diskusi. Beberapa audiens mengatakan bahwa menarik jika ada seri lanjutan dari diskusi sejarah Kendari ini.
Menelusuri Sejarah Kendari dengan Riang Gembira
Salah satu output dari Indielogis Vol.5 adalah penyajian hasil riset mandiri dari tim Indielogis melalui riset pustaka dan riset lapangan. Hasil penelusuran ini kemudian kami sajikan dalam medium yang lebih populer dan ramah di mata, untuk memudahkan kita semua dalam mempelajari pahatan-pahatan sejarah yang tersaji. Tentunya, hasil sajian infografis Sejarah Kota Kendari memungkinkan ada celah informasi dan data yang terlewati. Terbatasnya medium dan waktu penelusuran, meninggalkan banyak pertanyaan tentang apa peristiwa sejarah dibalik nama dan tanggal yang tercantum.
Kami juga sangat membuka diri pada siapa saja yang ingin mendiskusikan hasil penelusuran kami. Usai malam seri Diskusi Sejarah Kota Kendari, keesokan harinya tim telusur bersama peserta berkumpul untuk melakukan napak tilas di beberapa situs cagar budaya Kota Kendari. Hasil riset pustaka tidak cukup sekadar didiskusikan bersama narasumber.
Tim telusur memfasilitasi transportasi dan pemandu untuk melihat langsung sisa-sisa dan jejak fakta sejarah Kendari. Sekitar pukul 11.55 WITA, dari Kantor Pariwisata & Ekrat Provinsi Sulawesi Tenggara,rombongan memulai perjalanan dengan menggunakan transportasi Bus Translulo.
Titik pertama yang menjadi kunjungan adalah Taman Makam Pahlawan Watubangga Kendari yang lokasinya tak jauh dari perbatasan antara wilayah Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan. Taman Makan Pahlawan (TMP) Watubangga Kendari adalah pemakaman yang berada dalam pengawasan pemerintah daerah. Ada beberapa pejuang yang wafat/gugur pada tanggal dan bulan yang sama. Mayoritas merupakan angkatan bersenjata. Gugur dan wafat adalah dua kata penting yang menjadi pembeda bagaimana gugurnya pahlawan-pahlawan yang dimakamkan di TMP ini. Jumlahnya sekitar 64 makam. Beberapa di antaranya ada yang berupa makam baru, bertahun 2019. Tahun tertua adalah 1953.
Pemakaman ini dilengkapi informasi yang lengkap, berupa prasasti yang berukuran besar, yang memuat semua nama pahlawan dan tanggal gugur dan wafatnya. Terdapat pula perpustakaan. Sayangnya, karena hari libur nasional, kami tidak melihat pelayanan di perpustakaan tersebut. Kami tidak sempat masuk ke dalam untuk menelusuri informasi lebih detail mengenai jejak-jejak yang tertinggal.
MAKAM RAJA SAO SAO
Makam Raja Sao Sao berada di Jalan D.I Panjaitan, Kelurahan Lepolepo, Kecamatan Baruga, Kendari.Raja Sao Sao lahir di Kendari/Laiwoi pada 18 Mei 1852. 15 tahun setelah wafatnya Raja Lamangu Tawe, beliau diangkat menjadi Raja Laiwoi. Pelantikannya diadakan di Unaaha pada 18 Mei 1876.Pada masa kepemimpinannya, Sao Sao dikenal sebagai tokoh yang mempersatukan kerajaan-kerajaan di daratan dan menerima kedatangan suku lain di Kendari.
Makam Raja Sao Sao memiliki panjang 330 sentimeter dan lebar 150 sentimeter. Di bagian belakang nisan, terdapat penutup semacam kaca transparan yang berbentuk persegi yang memperlihatkan tanah asli makam, untuk membuktikan keaslian cagar budaya tersebut. Ada pintu pagar besi dengan motif Kalosara pada bagian tengah pagar yang dikelilingi tembok.
Namun, ada yang yang memprihatinkan dari lokasi sekitar makam Raja Sao Sao yang terletak di pinggir jalan raya ini. Walau jelas-jelas terpampang tulisan Cagar Budaya Nasional, di luar pagar makam Raja Sao Sao, kami melihat ada tiga makam lainnya.
Berdasarkan informasi dari Endry Tekaka selaku pemandu telusur, diperkirakan makam tersebut adalah makam dari Polapiwungguaro. Polapiwungguaro adalah orang-orang kepercayaan yang menjadi pelindung raja semasa hidupnya. Kondisi salah satu dari makam Polapiwungguaro sangat memprihatinkan, tak terurus. Batu nisannya sudah terlepas dari batok makam. Tak jelas lagi dimana persisnya posisi makam salah satu Polapuwunggaru tersebut.
Ada semacam lubang pada lokasi yang berdekatan dengan batu nisan yang terbengkalai tersebut. Tak jelas apakah hal itu merupakan tanda jejak bahwa ada yang pernah melakukan penggalian, ataukah bentukan tersebut merupakan proses alamiah tanah membentuk dirinya. Sebelum beranjak ke titik berikutnya, para peserta dan tim telusur mengangkat nisan yang sebelumnya terbaring tergeletak semacam batu tak penting. Kemudian kami memanjatkan doa bersama, semoga di hari mendatang ada perhatian khusus pada salah satu situs cagar budaya ini. Agar kota ini tidak mengkhianati jasa-jasa para pendahulunya.
TITIK 0 KILOMETER KENDARI
Setelah lokasi makam Raja Sao Sao, dengan menggunakan transportasi bus Tanslulo kami melanjutkan perjalanan. Kami berhenti di depan pembangunan jembatan teluk Kendari yang dipenuhi beton-beton yang menancap di akar tanah bangunan teater kota lama yang kini tinggal nama dan kenangan. Di lokasi tersebut,Frans Patadungan selaku salah satu pemandu perjalanan menerangkan hasil penelusurannya tentang titik 0 Kilometer Kota Kendari. Ia menunjukkan kepada peserta sebuah kayu yang menancap ke tanah dan bertuliskan 0 KM. Kayu tersebut tepat berada di depan pembangunan jembatan. Kemudian beliau menunjukkan foto dari ponselnya, sebuah foto tugu yang menunjukkan gambar tugu KDI 0 KM.
Mulanya, tugu tersebut diperkirakan sudah hilang. Namun, karena peserta telusur dihinggapi rasa penasaran, maka peserta bersama-sama menyebrangi jalan untuk mencari apakah objek foto tugu titik 0 kilometer yang diperlihatkan masih ada atau tidak. Kami bertanya pada pihak keamanan proyek pembangunan jembatan. Menjelaskan maksud dan tujuan, kami diizinkan untuk melihat tugu tersebut. Tugu tersebut ternyata masih ada. Tepat berada di bawah bibir podasi utama jembatan.
Di antara beton-beton jembatan, Frans kembali menerangkan tentang bagaimana patokan titik 0 kilometer sebagai penanda jarak. Titik nol kilometer diperlukan sebagai penanda jarak dari pusat kota ke daerah lain di sekitarnya. Menurutnya, Inggris lah yang pertama kali menggunakan tradisi penentuan titik 0 ini. Yang kemudian diterapkan juga oleh Belanda. Belanda biasanya menentukan titik 0 yang berdekatan dengan kantor pos. Ya! Lokasi tersebut berada persis di depan kantor pos pertama di Kendari.
Pada proses penelusuran sejarah Kendari, berkembang wacana bahwa kita bisa saja bersepakat menentukan titik 0 kilometer Kota Kendari melalui kearifan sejarah lokalitas kita. Ada banyak hal tentang Kota Kendari yang terlalu kolonialsentris. Baik dari penanggalan hari kelahiran hingga penentuan titik 0 kilometer.Jika berpacu pada kearifan lokal, Hutan Baruga digadang-gadang paling cocok untuk menjadi titik 0 kilometer Kota Kendari. Sebab, di sanalah bermula Kerajaan Laiwoi digagas oleh tokoh pemuka adat di masa lalu.
MAKAM ORANG-ORANG BELANDA di KOTA LAMA KENDARI
Panasnya terik mentari di siang hari tidak menyurutkan niat dan semangat peserta untuk menelusuri jejak-jejak situs sejarah Kendari.
Di Kota Lama Kendari, selain titik 0 kilometer, terdapat situs lain yang sayang jika dilewatkan. Saat masih berada di dekat jembatan, sembari menunjuk ke arah utara, Endry Tekaka menjelaskan ada makam orang-orang Belanda di sana. Lokasinya bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 15 menit.
Walau tak diagendakan, kami lalu sama-sama berjalan menuju petunjuk. Makam orang-orang belanda berada di Jalan Tekaka, Kelurahan Kandai, Kecamatan Kendari. Sebelum sampai lokasi, diperjalanan kami juga singgah melihat salah satu meriam di lokasi yang dulunya merupakan Laika Aha Kerajaan Laiwoi yang kini jadi Rumah Jabatan Wakil Ketua DPRD Sulawesi Tenggara.
Pada nisan makam orang-orang Belanda, kebanyakan tertulis dengan teks latin. Ada yang berbahasa Indonesia juga berbahasa Belanda. Di lokasi makam, ada sekitar puluhan kuburan orang-orang Belanda yang dikebumikan. Tahun pemakamannya kebanyakan tahun 1950an. Kami tidak menemukan data lisan dan tertulis terkait siapa, apa latar belakang, dan mengapa orang-orang Belanda dimakamkan di lokasi tersebut. Perjalanan lalu kami teruskan ke Bunker yang terletak di Kelurahan Mata.
BUNKER JEPANG DI KELURAHAN MATA
Sekitar tahun 2010, saya pernah ke bunker ini. Ada yang berbeda dengan kondisi bunker sewaktu dulu saya mengunjunginya. Kini, tepat di dinding atas meriam yang menghadap ke teluk Kendari terpampang tulisan: CAGAR BUDAYA NASIONAL KOTA KENDARI “BUNKER JEPANG” DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG REPUBLIK NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA. Tulisan tersebut terbuat dari baliho dengan latar putih dan teks berwarna hijau.
Kini, ketika berkunjung ke bunker tersebut, ada seorang pelestari yang ditugaskan oleh pemerintah daerah untuk menjaga kebersihan, menjamu pengunjung, dan menerangkan latar sejarah bunker.Pemandu yang ditugaskan masih sangat muda. Karena fokus pada penjelasannya, saya tak sempat menanyakan usianya. Tapi dari wajahnya, kemungkinan ia berusia sekitar 16-19 tahun.
Tempat tinggalnya berada di sekitar bunker. Ia merupakan pelanjut tugas dari bapaknya. Tak detail berapa kekuatan dan jangkauan jarak tembak dari meriam yang menghadap ke teluk tersebut. Tapi dari serpihan penjelasannya, ia menerangkan, suatu ketika, Jepang pernah menembak pesawat musuh yang mengudara di sekitar langit pulau Wawonii. Pada terowongan bunker, yang kini kondisinya telah tertimbun oleh tanah kuning, dahulu merupakan terowongan yang berfungsi untuk mengamankan diri ketika adu tembak terjadi. Di bagian atas bunker dekat meriam, kami melihat ada lubang menganga yang menyerupai bekas jatuhnya bom. Terowongan tersebut juga tembus ke lokasi meriam lainnya yang masih berada di Kelurahan Kendari Caddi.
Ke Kediaman Raja Laiwoi Ke 10
Dari Bunker Keluruhan Mata, sekitar pukul 15.30 kami beranjak kembali ke Kantor Pariwisata Provinsi Sulawesi Tenggara yang merupakan titik kumpul awal peserta telusur. Saat di titik kumpul, Endry Tekaka mengajak kami untuk bersilaturahmi ke kediaman H. IRWAN TEKAKA SAO SAO. Para peserta bersepakat untukberkunjung ke kediaman beliau di Jalan Rambutan sebagai titik akhir dari rangkaian kegiatan Telusur Sejarah Kota Kendari.
IRWAN TEKAKA SAO SAO merupakan Raja Laiwoi ke 10 dengan gelar Mokole Wulaa Lipuwuta Laiowoi Konawe. Beliau dipinorehu atau dinobatkan oleh masyarakat adat Tolaki dan dilantik pada 28 Januari tahun 2015 di Kota Kendari, dihadapan masyarakat tolaki dan disaksikan oleh lembaga adat Tolaki Kota Kendari dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Di kediaman beliau, kami melihat beberapa sisa koleksi peninggalan Kerjaan Laiwoi yang terpampang di ruang perjamuan. Seperti bendera, meriam tangan, tombak, dan lain sebagainya. Darinya, kami mendapat petuah untuk terus melestarikan apa yang ada dari peninggalan sejarah. Pesannya, anak-anak muda harus terus berkolaborasi untuk melestarikan adat budaya. Agar menjadi manusia-manusia yang beradab.
***
Seluruh informasi yang kami dapatkan dan kami sajikan merupakan hasil penelusuran mandiri yang mungkin memiliki keterbatasan. Baik dari waktu penelitian, penelusuran dan lain sebagainya. Fakta informasi lapangan merupakan data mentah yang kami dapat saat kami berkunjung di situs cagar budaya.
Ini adalah upaya sederhana yang bisa kami perbuat untuk menjawab kegelisahan bersama. Pada pelajaran sejarah dan muatan lokal, generasi kami tak pernah disuguhi pelajaran tentang sejarah Kendari, baik saat tingkatan tingkatan SD, SMP, hingga SMA. Di Museum daerah juga tak ada sajian infografis sejarah yang dapat kami pelajari. Maka dari itu, ketimbang tenggelam atas ketidaktauhan, dengan modal semangat dan gaya anak muda, kami memilih untuk mencari tau dengan segala keterbatasan yang ada. Melalui cara kreatif secara mandiri.
Penulis :

Riqar Manaba merupakan singer-writer di kelompok musik Ujung Titik dan Dersana. Saat ini aktif bereksperimen di Indielogis, sebuah ruang laboratorium penerapan industri kreatif berbasis komunitas. Ia juga merupakan Direktur The La Malonda Institute, lembaga nirlaba yang bergerak di bidang seni, budaya, dan sastra. Saat ini dipercaya sebagai Ketua Umum Alumni SMA Negeri 9 Kendari.