G20 dan Kelas Menengah Indonesia
Ragam interpretasi tentang Kelas Menengah Indonesia sesungguhnya tidak menyulitkan kita menemukan ciri-ciri utamanya. Salah satunya adalah tingkat pendidikan. Warga negara Indonesia yang mampu mengecap perguruan tinggi adalah satu bagian kelas menengah. Titik tolak tulisan ini pada kelas menengah dengan ciri utama pendidikan.
Mengaitkan G20 dan kelas menengah dengan ciri utama pendidikan bukan tanpa alasan. Pertama, dalam perjalanan bangsa-negara Indonesia, kelas menengah seperti inilah yang banyak terlibat dalam pergumulan teori-teori pemerintahan dan sistem-sistem dunia hingga pergaulan nasional, regional, samoai internasional (tanpa menafikan kelas menengah lainnya). Kedua, kelas menengah inilah yang banyak bergaul dengan wacana demokratisasi sebagai bahasa global yang mendasar. Ketiga, bertumpu pada dua hal itu, kelas menengah ini pula yang diharapkan mengetahui, memahami, dan mengawal forum-forum internasional seperti G20 dimana Indonesia sebagai Presidensi tahun 2021-2022.
Namun demikian, lintasan “kemungkinan” selalu bermain-berselancar antara kenyataan dan harapan. Kelas menengah yang kita harapkan sebagai lilin penncerahan terkait sisi terang sisi gelap G20 nyatanya terbagi dalam banyak pandangan. Bahkan mungkin, mayoritas kelas menengah ini mispersepsi dan bersikap masa bodoh terhadap G20.
*
Adalah buku G20 DI MATA CENTENNIAL yang banyak memberikan-membagikan informasi tentang G20 berikut optimisme di mata kelas menengah kluster generasi Z atau Centennial (Generasi Muda Periode seratus tahun). Sekapur siri dari Hadiyanto, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan memperlihatkan optimisme awal itu. Menurutnya, Presidensi G20 merupakan momentum kebangkitan ekonomi yang sangat strategis untuk menjawab berbagai tantangan internasional, seperti mewujudkan pemulihan ekonomi yang inklusif, berdaya-tahan, dan berkesinambungan.
Hadiyanto menambahkan optimisme lainnya, bahwa generasi muda (dalam buku ini disebut Centennial) sebagai pribumi era ini, mampu mengambil banyak manfaat dari G20 untuk menatap masa depan yang lebih baik di masa-masa mendatang. Berdasar informasi sekilas tentang gagasan dan pikiran Cenntenial dalam buku ini, kita kelas menengah seolah merugi jika memomentum G20 tidak mampu dikonversi sebagai perubahan-kemajuan dan pergi tanpa jejak. Seolah penggalan sejarah maha penting hilang tanpa kita mampu mengembalikannya sebagai kesempatan emas dalam menata masa depan.
Tapi benarkah semua kelas menengah merasakan hal yang sama dengan pihak-pihak kementerian keuangan? Optimis kah kita menatap masa depan yang berdasar pada Presidensi G20?
Secara fenomenlogis, kita lihat keadaan sehari-hari kelas menengah mencerminkan atau memperlihatkan sisi berbeda. Sebutlah penulis sendiri, yang saban hari bergulat dengan nasib di Ibukota. Jika ada dana dan kesempatan saban waktu nongkrong di cafe; bertemu teman, meeting dengan kolega, dan mengobrolkan hal remeh-temeh hingga soal-soal kebangsaan.
Ketika tiba-tiba seorang teman menyebut G20, rasanya senja menjadi kelam karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman saya. Makanan apa lagi ini, pikir saya.
Secara cepat-cepat teman saya memberikan secercah informasi tentang G20 yang berujung pada pertemaun saya dengan Buku di atas. Pun dengan istilah Centennial sebagai konsep-bahasa representasi generasi muda, gelap bagi saya. Centennial sebagai generasi muda-pelanjut zaman baru tidak nyambung dengan era saya sebagai generasi baby boomer. Secara singkat pula saya melahirkan kesimpulan: saya tidak paham dengan G20 sebagai salah satu konsumsi utama generasi saat ini.
Namun demikian, oleh karena G20 tidak terlepas dari Amerika Serikat dan sekutunya berikut Bank Dunia dan IMF, maka secara naluriah ingatan saya berlari ke masa silam, tepatnya tahun 1960an ketika Presiden Nixon dengan bahagia berkata: Indonesia adalah hadiah terbesar Asia Tenggara untuk Amerika Serikat.
Juga Laci memori saya membuka wacana lainnya tentang The Rules of The World yang diperkenalkan salah seorang pemikir Abad ini. Secara singkat konsep ini lahir-dilahirkan di Jenewa. Adalah The Time Life Corporation sebagai sponsor pertemuan pihak Indonesia dan Para Pengusaha Raksasa dunia di Jenewa, Swiss tahun 1967 yang membahas masa depan dunia, khususnya masa depan Indonesia pasca Era Demokrasi Terpimpin Soekarno.
Kita tahu, Hasil pertemuan penting itu melahirkan UU PMA 1967 yang justru membunuh masa depan Indonesia sebagai Negara berdaulat dan masa depan warga negara Indonesia yang sejak awal mengetahui kekayaan alamnya.
Maka Presidensi G20 yang dilaksanakan pada November di Bali, Indonesia itu, tidak ayal menghadirkan memori kolektif kita pada suatu masa tentang negara merdeka yang akhirnya berpotensi kembali terjajah karena para pemimpinnya belum mempunyai mental merdeka; tentang suatu peristiwa yang diprakarsai segelintir orang tapi berdampak besar dan berkepanjangan pada nasib buruk warga negara Indonesia.
*
Generasi saya adalah generasi yang trauma terkena efek negatif dalam pergaulan global. Juga sebagai korban pada tiap pergantian era. Kita tahu politik sebagai panglima di Era Soekarno; ekonomi sebagai panglima di Era Seoharto, Pasar adalah panglima di Era global (baca nasionalisme negara maju); dan Warga sebagai Panglima di Era Demokrasi substantif (walau masih dalam ruang harap; Utopis).
Hari-hari ini, kelas menengah generasi baby boomer seperti saya telah tertinggal jauh bersama trauma masa lalu dalam percaturan global. Generasi kelas menengah seperi kami hanya berfungsi jangkar atau rem bagi zaman baru yang berlari cepat mengejar pulau-pulau harapan. Kadang berfungsi positif, tidak jarang berfungsi negatif. Generasi kami berfungsi positif jika mampu membawa kesadaran-trauma masa lalu sebagai bahan bagi generasi baru untuk mawas diri dalam pergaulan global. Sebaliknya, berfunsi negatif jika generasi seperti kami hanya memilih sebagai oposisi global—mengurung diri tanpa memberikan solusi bagi generasi muda kini.
Sementara generasi Centennial sebagai pelanjut era baru terus melangkah maju menatap dan menggantungkan masa depan mereka pada forum-forum internasional seperti G20. Bermodalkan optimisme, daya kritis, dan mawas diri mengingat peristiwa-peristiwa masa lalu, generasi baru ini mampu bersaing dengan para pemain utama di kancah global. Pesan Bung Karno: “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah” adalah alat mawas diri yang sangat berguna. Tanpa modal dan alat mawas diri di atas, rasanya sulit untuk kita berharap banyak pada perhelatan akbar-global seperti G20. Karena sesungguhnya pesan Bung Karno itulah sebagai jembatan penyambung lintas wilayah hingga lintas generasi. Dengan begitu tidak terjadi multi interpretasi dalam tubuh kelas menengah terhadap G20 yang mengarah pada konflik horizontal dan konflik antargenerasi.
*
Studi Khisori Bahbubani, menarik perhatian kalangan Asia seperti Indonesia, terlebih negara maju seperti Amerika Serikat. Analisa tajam Mahbubani terkait pergaulan global saat ini mengarah pada satu kesimpulan: Asia siap dan mampu mengemban kepemimpinan global. Menurutnya, asumsi barat yang diwakili Amerika, bahwa kondisi dunia dalam keadaan bahaya memperlihatkan sikap dan wawasan barat yang semakin sempit.
Sikap dan wawasan yang semakin sempit, membawa dampak negatif terhadap pergaulan global; amarah dan sinisme serta politik syak wasangka dalam percaturan global. Pada titik inilah, Kishori melahirkan kesimpulan berikutnya: “Kompetensi Asia dan Inkomptensi Barat” sehingga pelan tapi pasti terjadi pergeseran kekuatan dari Barat ke Asia.
Studi dengan analisa tajam ini penting sebagai bahan bagi kelas menengah Indonesia mengambil posisi strategis di forum internasional seperti G20. Jika kini Generasi muda Indonesia hanya memposisikan diri sebagai tuan rumah Presidensi G20, di masa-masa mendatang, bukan tidak mungkin, Indonesia sebagai pemain utama dan penentu kebijakan-kebijakan internasional.
Dengan begitu, Barat khususnya Amerika Serikat mau tidak mau mundur perlahan dan memberikan tampuk kepemimpinan kepada Asia terkhusus Indonesia. Pun begitu, kelas menengah baby boomer seperti saya mampu menghapus memori kelam masa lalu dalam pergaulan global dan bisa tidur nyenyak di malam hari.

Aktivis Sosial