Siapa sangka bahwa mati itu tidak begitu buruk. Seumur hidup, aku mendengar bahwa surga dan neraka itu nyata adanya. Jika kau mati maka segala amal perbuatanmu akan ditimbang. Jika kau berbuat baik dan rajin beribadah, kau akan masuk surga. Jika kau banyak menyakiti orang-orang dan lalai, maka neraka adalah tempatmu. Semua itu sepertinya benar, hanya saja mereka tidak pernah mengatakan bahwa sebelum semua itu, seorang malaikat akan datang dan memberikan secarik kertas padaku.

“Bacalah,” katanya. Aku mendengar suaranya dalam kepalaku. Aku tidak tahu apakah itu suara perempuan atau laki-laki.

Dengan bingung aku menyaksikan sosok itu berada di hadapanku. Aku ingin bertanya padanya apa itu, tapi suaraku tidak keluar. Sepertinya benar bahwa jika kau mati maka seluruh hal yang dulu menjadi tubuhmu bukan lagi milikmu, bahwa ia memiliki nyawanya sendiri. Bahwa aku ingin lari saat melihat sosok agung itu, tapi kakiku tak kunjung bergerak. Bahwa aku ingin bertanya banyak hal padanya, tapi tak satu pun kata yang keluar. Satu-satunya yang kumiliki adalah kesadaranku sendiri. Dengan ragu-ragu, tanganku menerima secarik kertas itu. Aku takut bahwa apa yang aku baca adalah segala perbuatan buruk ku sewaktu hidup.

“Bacalah.” katanya kembali.

Kepalaku terasa sakit mendengar ia berbicara. Suaranya terasa seperti suara banyak orang yang berbicara secara bersamaan. Aku merasa begitu kecil dan takut di hadapannya. Tapi penasaranku jauh lebih besar daripada itu. Rasa bingungku pun semakin menjadi-jadi ketika kertas yang aku buka adalah kertas kosong.

Lama kertas itu kosong, hingga samar-samar tampak sebuah tulisan di sana. Semakin jelas, aku bisa membaca tulisan itu. Itu adalah nama ibuku.

Melihat nama itu, seketika ingatan tentang kehidupanku di dunia terputar kembali bagai rekaman video di layar kaca.

Aku selalu tahu aku akan masuk neraka karena ini. Seumur hidup aku membenci ibuku. Sejak kecil ia memisahkan aku dari ayah yang selalu menyayangiku. Ia membuatku hidup dalam kemelaratan sementara ayah kami yang bergelimang harta selalu memohon padanya agar bisa membiayai kami, tapi ibu selalu menolak. Berkali-kali kami harus pindah kota demi menghindari ayah.

Lalu ibuku menikah lagi. Ia menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih tua darinya. Lelaki itu kasar. Ia suka mabuk. Saat itu terjadi, ia akan memukul ibuku dan aku. Aku bertanya pada ibuku kenapa ia bertahan dengan lelaki pemabuk busuk yang selalu menyakitinya setiap suasana hatinya buruk. Tapi ibu hanya tersenyum. Senyum yang sama yang ia tampakkan padaku ketika aku menangis dan memohon kepadanya untuk pergi, senyum yang sama yang ia perlihatkan padaku saat kepalanya beradarah-darah terkena lemparan botol alkohol.

Saat itu, aku bersumpah, aku tidak akan memaafkan ibuku.

Maka ketika aku sudah lulus SMA, aku kabur dari rumah dan kembali ke kampung halamanku. Aku mencari ayah kandungku. Untungnya tetanggaku ingat bahwa ayahku pernah mencariku ke rumah lama dan ia meninggalkan kontaknya jika saja ada yang hendak mencarinya. Saat itu juga, aku berangkat ke alamat yang dituju dengan harapan agar ayah mau menerimaku lagi.

Aku menemukan ayahku. Ia hidup sendiri. Aku menawarkan diri untuk hidup bersamanya dan menjaganya. Walaupun ia terlihat tidak yakin, akhirnya ia mau menerimaku. Aku tinggal bersamanya dan menjaganya seperti anak baik. Aku merasa dia agak dingin padaku, tidak seperti yang dulu. Mungkin karena waktu yang lama kami berpisah. Pasti aneh baginya untuk hidup bersamaku lagi setelah sekian lama. Tapi tidak masalah buatku. Aku tidak pernah sebahagia ini saat masih tinggal bersama dengan ibuku.

Beberapa minggu kemudian ibuku datang. Entah bagaimana caranya ia menemukanku, mungkin dengan cara yang sama aku menemukan ayah. Ia datang dan mengamuk di rumah ayah. Ia ingin agar aku kembali. Tapi aku tidak mau. Ibu marah dan melampiaskan kekesalannya pada ayah, padahal ini kemauanku sendiri. Aku tidak tahu kenapa ibu begitu membenci ayahku, ayah yang mencintaiku! Saat keributan itu terjadi, tanpa sengaja aku mendorong ibuku dari atas tangga. Ia jatuh terguling. Lehernya patah. Ia meninggal saat itu juga.

Seharusnya aku merasa sedih. Tapi hidup dalam kemiskinan dan kemalangan bertahun-tahun bersamanya membuatku tersenyum lega saat aku tahu ibu telah meregang nyawa.

Aku membunuh ibuku dan aku tidak menyesal.

Akhirnya aku hidup berdua dengan ayah di kota. Aku melanjutkan kuliahku dan aku bertemu dengan pria idamanku. Kami menikah dan tinggal di rumah ayah. Ia mempunyai rumah yang besar dan aku tidak tega meninggalkannya sendirian. Hal baik lainnya adalah ayah kembali mencair padaku ketika aku melahirkan anak perempuan yang cantik. Ayahku sangat menyayangi cucunya, ia selalu mengajaknya bermain. Ia rajin membawanya bertamasya dan membelikan mainan untuk cucu kesayangannya itu. Aku merasa begitu bahagia memiliki ayah seperti dirinya.

Sayang sekali aku harus mati dalam kecelakaan mobil yang merenggut nyawaku dan suamiku. Tapi mengetahui anakku bersama dengan kakek yang menyayanginya, aku rasa aku bisa masuk neraka dengan tenang.

“Bacalah.”

Suara itu kembali berkata dalam kepalaku. Nama kedua muncul di bawah nama ibuku. Itu nama ayahku.

Apa yang terjadi? Saat itu, sebuah cahaya terang muncul dari sosok di hadapanku, sangat terang hingga aku menutup mataku, cahayanya masih bisa kurasakan.

Kemudian kembali ingatan tentang peristiwa yang dulu sekali terputar di kepalaku. Kali ini, aku melihat diriku yang masih berusia lima tahun. Aku ingat ini. Ini adalah hari dimana ayah dan ibuku bertengkar hebat sehingga esoknya ibu membawaku pergi dari ayah.

Hari itu ayah membawaku dan ibu ke pantai. Cuaca sangat panas dan kami rencananya akan piknik bersama. Karena bukan hari libur, pantai saat itu sedang sepi pengunjung. Aku melihat diriku yang berumur lima tahun menggunakan baju renang yang baru dibelikan ayahku. Lucu sekali. Saat itu diriku terlihat sangat senang bermain air di pinggir pantai. Berikutnya ayah mengajariku berenang. Aku senang sekali. Ayah menahan dada dan pahaku agar bisa mengambang di air laut. Ibu menyaksikan dari jauh. Ini adalah salah satu kenanganku yang paling berharga.

Kemudian ibu beranjak pergi, sepertinya ia meninggalkan sesuatu di mobil. Karena capek, aku dan ayahku kembali ke tepian. Ayah meminta aku duduk di pangkuannya.

Apa yang terjadi selanjutnya sungguh mengejutkanku.

Saat aku duduk di pangkuannya, ayah melakukan sesuatu yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Ia mengeluarkan barangnya yang sudah mengeras lalu menggosok-gosokkannya di bokongku. Aku selalu mengira sedang bermain kuda-kudaan bersama ayah. Saat itulah ibuku datang dan melihat kami.

Maka jelaslah bagiku kini mengapa ibuku begitu membenci ayah.

Hinalah aku! Seumur hidup aku membenci ibuku dan mengutuk dirinya atas apa yang ia lakukan. Aku tidak pernah bertanya padanya atau memberinya kesempatan untuk menjelaskan segala perlakuannya. Aku selalu menghakimi dan menilainya sangat buruk karena telah memisahkan aku dan ayahku, padahal seumur hidupnya, yang ia lakukan adalah melindungiku dari predator! Aku juga ingat ia selalu melindungiku saat suami pemabuknya hendak memukul lagi! Ah! Sungguh aku durhaka! Kepala ibuku berdarah karena menutupi tubuhku dari amukan ayah tiriku! Kenapa aku tidak pernah melihatnya seperti itu? Ibuku selalu menyayangiku, tapi aku menginginkan kematiannya!

Aku tertawa saat ia mati! Aku benci diriku sendiri. Sesungguhnya akulah yang busuk tidak bisa melihat itu sejak hidup.

Belum selesai aku tenggelam dalam penyesalan dan menangisi kebodohanku sendiri, sosok di depanku kembali memperlihatkan suatu peristiwa padaku.

Mobil yang aku dan suamiku pakai saat hendak bertamasya berdua, ternyata telah disabotase oleh ayahku. Ia sengaja merusaknya hingga remnya tidak berfungsi. Mobil kami jatuh di jurang. Ayah membunuh kami.

Tapi itu bukan horor sebenarnya. Pemandangan selanjutnya adalah hal yang akan terus menghantuiku selamanya.

Aku melihat anak perempuanku sedang tertidur lelap di kasurnya. Lampu tidurnya menyala warna-warni, menciptakan bayangan bulan dan bintang di langit-langit kamar. Aku bisa mencium aroma minyak telon yang selalu kupakaikan padanya. Ah…

Sementara itu, ayahku mengintipnya tertidur dari balik pintu.

Itu adalah neraka ku.

 

Penulis :

Loading