Cerita dari Pinggir Lapangan

Bisakah sepakbola jadi ajang melepas rindu? Rasanya bisa. Buktinya, ketika Boaz mulai berlari-lari kecil di sisi lapangan UHO, beberapa mahasiswa asal Papua berjalan cepat menuju bench Dua Laode, menghampiri Kaka Bocci yang sedang merenggangkan otot-otot kakinya. Mereka berfoto.
Pada momen swafoto itu, mereka tersenyum. Saling rangkul. Dan jelas mereka berbahagia. Kira-kira begitu simpulan saya ketika melihat dari jauh.
Jelas itu bukan sekadar foto. Tidak dalam arti hendak mengekalkan sepotong waktu. Bukan pula untuk mendompleng selebritas. Itu murni buah rindu. Bertemu di tanah rantau, dengan orang sekampung, rasanya sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Saya menyaksikan momen itu dua kali sebelum peluit ditiup, tanda dimulainya pertandingan.
Sesudah itu saya larut dalam irama permainan kedua tim. Sesekali saya berteriak. Saya mengoceh terus tak sudah-sudah. Hery dan Unding, kawan yang duduk di sisi saya beberapa kali menegur. Saya tidak ambil pusing. Ketika bola di umpan lambung ke sisi kiri lapangan, dan Kadek melaju menggiring bola, -dan- bersiap mengecoh bek Dua Laode, saya berteriak lagi. Kadangkala saya menyumpahi pemain yang terlalu lama menahan bola. Atau mengomel kalau jarak antarpemain terlalu jauh sehingga menyulitkan pergerakan dari kaki ke kaki. Apalagi kalau umpan tidak akurat, aduh, emosi saya teraduk dan bikin stres sendiri.
Ketika umpan menyamping jelas-jelas mengarah ke kotak duablas, melambung tanggung dan segera menyentuh tanah, bola terpantul mengenai tangan bek UHO, saya berteriak memukul tanah keras-keras. Aduh. Penalti. Saya menutup muka. Saya ngos-ngosan seperti baru saja berlari tujuh putaran mengelilingi lapangan dengan beban perut yang sulit saya sembunyikan. Boaz maju ke muka. Bersiap mengeksekusi. Tendangan kaki kirinya ke sisi kanan atas. Meskipun arah bola dibaca dengan baik oleh kiper, namun bola melesat keras. Saya menggerutu. Posisi 1:0.
Saat turun minum, saya menarik nafas dalam-dalam. Jadi lega perasaan saya. Dalam diam saya berharap akan ada gol balasan tercipta. Saya perbaiki posisi duduk, dengan kaki menyilang dan meluruskan punggung.
Empat orang gadis Papua lewat di depan saya. Dengan rambut dikepang kecil-kecil mereka berjalan cepat, sedikit membungkuk dan menurunkan tangan kiri tanda tabe pada kami yang sedang duduk. Tampaknya mereka hendak bertemu dan mengabadikan pertemuan dengan swafoto.
Kendati Bung Don menyebut pertemuan dua tim ini sebagai rivalitas klasik, yang tampak malah sebaliknya. Pada kedua tim seperti reuni yang hangat, dan pada penonton seperti suguhan hiburan berkelas. Dan pada lainnya, mahasiswa UHO asal Papua, seperti sebuah pelukan dari seorang kekasih untuk pertemuan yang telah lama dinanti.
Nah, sepakbola seperti juga peristiwa sosial lainnya membuat orang merasa terhubung satu sama lain sebagai warga masyarakat. Juga menghubungkan kegembiraan dan kesedihan dirasakan dalam satu waktu secara bersamaan.
Saya mengingat sepotong wawancara Colina usai memimpin final liga champion Bayern vs MU. “Itu adalah dua menit terakhir, saya melihat para pemain Bayern di bangku cadangan bersiap untuk merayakan gelar. Sontak, Manchester mencetak dua gol dalam dua menit dan membalikkan skor. Saya tidak akan pernah melupakan bagaimana tim Inggris meledak dengan suara keras seolah-olah mereka adalah singa yang mengaum, sementara ada keheningan pemakaman di tribun Bayern.”
Saya melihat wajah asli sepakbola dalam satu stadion bagaimana bahagia dan sedih saling berpaut, pungkasnya.
Itu pula yang saya saksikan sore tadi. Pada tingkat tertentu, di luar urusan kalah menang, yang tampak malah wajah anak-anak Papua yang tersenyum bersama Kaka Boci dalam sesi swafoto. Juga para pemain Dua Laode dan UHO saling berangkulan seumpama kakak beradik.
Penulis :

Pendiri The La Malonda Institute