Bonus Demografi dan Masa Depan Oligarki
Indonesia sebagai Negara-bangsa telah berusia 77 tahun. Angka yang cukup Panjang secara usia untuk membangun dan mempersiapkan generasi unggul pasca keluar dari periode penjajahan.
Lazim kita tahu, dentuman suara bapak Proklamar, Bung Karno, bahwa “Kemerdekaan adalah jembatan Emas”. Ya, kemerdekaan yang digapai secara berdarah hanyalah satu tahap menuju kebebasan-kebebasan berikutnya; bebas dari buta huruf, bebas dari rasa takut, bebas dari rasa lapar, dan seterusnya.
Namun demikian, menuju negara-bangsa berdaulat bukan jalan tol bebas hambatan. Fakta-fakta lapangan memperlihatkan, hingga diumur 77 tahun ini, kita sebagai negara-bangsa belum mampu menjadikan Indonesia sebagai “Rumah Bersama”. Bebas dari buta huruf dan rasa lapar, misalnya, belum dirasakan dan terealisasi di pulau-pulau terluar Indonesia, bahkan di pinggiran Ibukota Jakarta. Sebuah kenyataan pahit yang harus kita telan sebagai pelanjut dan pemelihara “jembatan emas” Bung Karno.
Lalu di sisi lainnya, segelintir elit menikmati kue ekonomi Nasional secara berlimpah. Seringkali elit-elit inilah yang memproduksi kebijakan ekonomi politik untuk seluruh wilayah Indonesia yang notabene belum merasakan nikmatnya bebas-merdeka. Segelintir elit yang membangun “rumah Plutokrasi” yang kemudian kita kenal sebagai Oligarki, para predator ekonomi politik dalam dunia demokrasi.
Plutakrasi dan Oligarki
Kajian tentang kelompok plutokrasi sejak dahulu sudah ada. Pun dalam negara yang mendaku diri sebagai negara paling demokratis seperti Amerika Utara, kelompok ini yang sekarang disebut Oligarki yang mampu hidup berdampingan dengan seluruh wacana nilai-nilai demokrasi; kesetaraan, toleransi, dan distribusi kekayaan antar warga negara.
Bagi Rahman Tolleng, salah satu aktivis dan pemikir lintas zaman, oligarki di Indonesia sudah hadir pada bagian terakhir kekuasaan Soeharto. Baginya, oligarki era Seoharto masih bersifat Sultanistik, di mana Soeharto sendiri sebagai pemangku utama atau Sultannya. Diakuinya, kondisi demikian tercipta sejak tahun 1970an Ketika Seoharto sebagai Jenderal, Presiden dan utamanya sebagai penguasa “otoriter” Indonesia dengan sadar membiakkan segelintir pengusaha etnis Tionghoa dan secuil pengusaha pribumi (Prisma, volume 33 2014) hal. 104-106.
Kelompok elit inilah yang kemudian menjalankan praktek monopoli dan oligopoli di Indonesia. Elit ini pula yang menjadi cikal bakal oligarki ketika Indonesia memaksakan reformasi dan keluar dari titah sang raja, Soeharto.
*
Merujuk pada beberapa kajian tentang oligarki di Indonesia, hampir semua kalangan sepakat, bahwa Gerakan reformasi Indonesia yang diprakarsai kelompok mahasiswa tahun 1998, secara fundamental membawa dua perubahan besar. Pertama, perubahan dari orde otoriter ke orde demokrasi. Kedua, perubahan dari sultanistic oligarchy ke ruling oligarchy. Modus operandi oligarki tipe Indonesia ini bersifat economic defence yang beroperasi maksimal dalam politik electoral.
Dengan demikian kita pahami wilayah kerja oligarki Indonesia beredar di seputar pemilihan presiden hingga pemilihan kepala daerah. Secara kasat mata, kita melihat banyaknya partai, kelompok tertentu, hingga perseorangan yang mendapatkan suntikan dana dari pemodal. Tingginya biaya politik dalam setiap kontestasi “memaksa” hampir seluruh politisi indonesia menggantungkan keberuntungan politiknya pada oligarki. Olehnya perubahan kepimpinan Indonesia tidak dibarengi dengan perubahan struktur sosial-politik dan struktur ekonomi. Tidak ada mobilitas sosial warga negara yang memungkinkan mereka mendapatkan roti ekonomi nasional.
*
Disparitas ekonomi yang semakin tajam mau tidak mau, membuat gerah sekelompok orang dari kalangan muda yang notabene mempunyai saham dalam menumbangkan despotis Seoharto.
Pengusaan kue ekonomi nasional yang beredar pada segelintir elit-oligarki yang berada dalam hampir semua lapiran struktur negara justru meningkatkan militansi kelompok intelektual “creative minority” untuk terjun langsung melawan dalam bentuk advokasi kesadaran warga.
Fenomena masuknya para aktivis di arena politik, kemenangan beberapa tokoh masyarakat pada pemilihan daerah melalui jalur independent, tumbuh suburnya aktivis lingkungan yang menggongong kebijakan negara perusak lingkungan, serta teriakan intelektual di beberapa media alternatif adalah fenomena perlawanan pada oligarki.
Ketika oligarki mengusai kebijakan publik seperti konsesi tambang misalnya, kelompok intelektual mengirim agen di lapangan untuk mengadvokasi warga untuk turun ke lapangan melakukan protes dan boikot tambang; Ketika oligarki mampu membayar media besar untuk menjinakkan protes warga, kelompok intelektual berselancar di media alternatif demi memberikan perlawanan yang informatif dan mencerdaskan warga.
Juga fenomena menurunnya kepercayaan publik pada media mainstream adalah bagian dari kerja-kerja intelektual yang tanpa lelah menyadarkan masayarakat untuk tetap kritis terhadap media besar yang sering pro pada oligarki. Dengan meningkatnya mawas diri warga diakui atau tidak, kekuatan dan cengkraman oligarki di beberapa lapisan masyarakat melemah.
*
Fenomena-fenomena di atas, baik pada lapangan politik yang memenangakan politisi non-oligark, teriakan warga yang memprotes konsesi-konsesi tambang, hingga menjamurnya media alternatif yang tidak mampu dijangkau dan dikontrol agen-agen oligark memperlihatkan perimbangan kekuatan di arena struktur sosial-politik dan struktur ekonomi negara-bangsa Indonesia. Kondisi demikian pun memaksa para oligark beradaptasi secara cepat.
Pun demikian dengan porsi lapangan kerja yang semakin besar bagi masyarakat lokal yang terdampak konsesi pertambangan. Bahkan dalam beberapa kasus, para oligark “mengalah” tidak melanjutkan obesesi pembangunan karena mempertimbangkan protes warga. Reklamasi di teluk di kepulauan seribu Jakarta karena nelayan yang merasa dirugikan melakukan protes ke balaikota Jakarta adalah contoh nyata hingga kini.

Aktivis Sosial