Bencana Ekologis di Kalsel dan Hilangnya Nalar Kritis Pemuda

Salah Satu Area Lahan Tambang
( Dokumentasi oleh : Syahran F. )

Awal tahun baru 2021 adalah awal yang kurang baik untuk bangsa Indonesia. Ada banyak fenomena yang terjadi diawal tahun ini. Pada tanggal 9 Januari 2021, terjadi peristiwa jatuhnya pesawat boeing dari Sriwijaya Air di sekitaran Kepulauan Seribu dengan rute Jakarta – Pontianak. Kemudian peristiwa alam lain terjadi di beberapa daerah seperti banjir yang terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kota Manado, Sulawesi Utara, serta gempa bumi yang terjadi di Mamuju, Sulawesi Barat.

Beberapa bencana yang terjadi adalah peringatan sekaligus pelajaran bagi kita semua.

Hingga kini, beberapa titik lokasi di Kalimantan Selatan masih tergenang banjir. Lumpur-lumpur juga masih mengitari rumah warga.

Ada beberapa asumsi yang mengatakan bahwa kejadian banjir yang terjadi di Kalsel disebabkan oleh intensitas curah hujan yang sangat tinggi.

Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah, pada wawancara Tempo, Kamis, 21 Januari 2021 menyatakan bahwa, “Di Kalsel terdapat 114 Unit IPPKH dengan luas 64.953.12 hektare atau hampir menyamai luas DKI Jakarta. Dari angka itu, luasan areal dibuka 12 618.44 ha yang direklamasi baru seluas 2.708.07 ha dan areal yang telah direvegetasi hanya mencapai 28.93 ha.”

Terlihat jelas bahwa banjir yang terjadi di Kalsel tidak lain adalah dampak dari bentuk eksploitasi lahan yang merusak lingkungan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, mencatat 50% dari lahan di Kalsel telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit. “Tambang 33%, sawit 17%.”

Merujuk pada kondisi itu, ia mengaku telah berulang kali memperingatkan bahwa provinsi tersebut berada dalam kondisi darurat bencana ekologis dan konflik agraria. Oleh karena itu, ia tak kaget jika bencana ekologis itu terjadi saat ini, “terparah dari tahun-tahun sebelumnya.”

Tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit adalah sebuah aset yang dapat mendatangkan keuntungan dengan skala besar. Tak hayal jika berbagai macam cara akan dilakukan untuk meraup hal tersebut.

Banjir yang terjadi di Kalsel ini sebab utamanya adalah adanya indikasi akibat kerusakan hutan yang terjadi di sekitaran DAS Barito yang merupakan lokasi penampung air terbesar yang tersebar di Provinsi Kalimantan Selatan sekaligus provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, serta Kalimantan Barat.

Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) menyatakan, dalam rentan tahun 1990 hingga 2019 telah terjadi penurunan luas hutan alam sekitar 62,8% di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito, Kalimantan Selatan. Hal itu terjadi dampak akumulasi dari pengikisan luas hutan secara perlahan-lahan dalam kurun waktu 29 tahun terakhir.

Pertanyaannya kemudian, siapa yang paling bersalah atas kejadian tersebut? Mangkal ke mana perhatian anak muda Indonesia dalam kurun waktu 29 tahun itu? Terbuai perhatian oleh beberapa konten ‘pemersatu bangsa’ kah? Sibuk berlanggak lenggok main tiktok? Atau ini adalah bentuk dari matinya nalar kritis anak muda di negeri ini?

Sejarah mencatat bahwa pemuda selalu menempati peran yang sangat srategis dari setiap peristiwa penting yang terjadi. Bahkan pemuda menjadi tulang punggung dari keutuhan perjuangan melawan penjajahan Belanda dan Jepang hingga bergulirnya era Reformasi.

Namun mengapa kerusakan hutan dan lingkungan tidak membuat para pemuda menjadi peka atas kerusakan alam tersebut? Seperti ada kematian semangat untuk melakukan advokasi sehingga para stakeholder dengan mudahnya melakukan eksploitasi besar-besaran karena tidak adanya pengawasan. Tentunya, termasuk kematian penulis sendiri yang hanya bisa cuap-cuap melalui tulisan ini.

Seperti kita ketahui bersama bahwa pemuda adalah pewaris dan penerus. Mungkin sudah terlambat untuk berbuat. Namun, apakah kerusakan alam dan lingkungan yang sangat buruk ini mau terus-terus kita saksikan hingga anak cucu nanti kehilangan tempat tinggal baru mau bergerak?

Indonesia adalah salah satu penyangga kehidupan dunia. Indonesia memiliki kawasan hutan tropis terbesar ke tiga di dunia setelah Brazil dan Kongo.

Mungkin, musti ada stimulus positif agar kita semua, para pemuda menjadi lebih peka terhadap fenomena-fenomena alam yang terjadi. Khususnya mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dalam bidang lingkungan. Agar ke depan kita tidak kehilangan kosakata “hutan yang lestari yang kayak akan flora dan fauna” sebagaimana yang sering kita dengarkan di bangku sekolah.

Penulis :

 

 

Loading