Bayangkan Betapa Muaknya Saya Mendengar Kata Healing dan Turunannya

“Tenangkan hati. Semua ini bukan salahmu”.
“Jadi salah gue? Salah teman – teman gue?”
                               -Kunto Aji X AADC-

Ilustrasi: Official Cover Album Rehat Kunto Aji

Tahun-tahun belakangan, kesehatan mental mulai mendapat perhatian dari banyak kalangan. Kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental pun makin meningkat. Masyarakat sebagai kolektif sudah mulai menyadari pentingnya kesehatan mental.

Meskipun perhatian terkait kesehatan mental makin meningkat, perdebatan dan miskonsepsi terhadap hal yang sama pun meningkat. Media dan budaya pop yang semula berniat menjadi representasi untuk kampanye pentingnya kesehatan mental malah menciptakan over glorifikasi yang cenderung tidak penting dan bahkan berpengaruh buruk pada pemahaman masyarakat terhadap kesehatan mental.

Menurut saya, budaya pop di Indonesia ini terpengaruh pada 2 hal. Pertama, kecenderungan orang Indonesia yang menerima segala hal secara superfisial. Media sosial memantik minat baca kita hingga pada tingkatan yang tinggi. Tetapi minat baca ini berbanding terbalik dengan daya baca yang rendah. Stamina kita dalam membaca sangat rendah sehingga kecenderungan untuk memahami sesuatu secara mendalam juga rendah.

Faktor kedua adalah orang Indonesia sangat mudah untuk menyerap istilah asing yang dianggap ‘’keren”. Misalnya, penggunaan istilah self-healing yang seolah–olah digambarkan seperti kegiatan liburan, bersenang–senang, atau mencari hiburan. Padahal self-healing merupakan sebuah proses penyembuhan luka batin yang mengganggu emosi dimana prosesnya bukan hanya digambarkan dengan hal yang pada akhirnya terlihat sangat absurd.

Beberapa istilah tentang kesehatan mental pun menjadi familiar di masyarakat awam. Tetapi akibat dari miskonsepsi dan over glorifikasi tersebut, banyak istilah yang dipakai seenaknya. Pada akhirnya, penggunaan istilah ini bermuara pada romantisasi yang membuat seakan–akan kesehatan mental yang buruk merupakan sesuatu yang “indah”. Media sosial sebagai sumber referensi budaya pop yang menjadikan anak muda yang kondisi emosionalnya masih belum stabil sebagai target marketnya makin memperparah hal ini.

Banyak anak muda tanpa bantuan profesional tak ragu menyatakan di media sosial bahwa mereka mengalami gangguan kesehatan mental dengan label “self diagnosed” untuk terlihat keren. Padahal sejatinya, gangguan kesehatan mental adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan sangat mengganggu fungsi seseorang baik secara fisik, psikis, maupun sosial.

Hari ini banyak orang yang melakukan hal absurd dengan dalih self-healing. Mulai dari marathon nonton drakor, memasang instastory berlatar awan dengan caption kata bijak, atau sekadar minum kopi susu kekinian di pojokan sambil mendengar Rehatnya Kunto Aji. Mengapa harus lagu itu? Entahlah.

Selain media sosial, musik juga tidak luput dari pengaruh over glorifikasi ini. Banyak musisi yang hari ini berkarya dengan label “lagu healing”. Kata–kata yang dimasukkan dalam liriknya pun dipilih yang sulit–sulit agar seolah keren. Saking sulitnya, saya yakin ketika Ivan Lanin mendengarkan lagunya pun harus membuka KBBI agar dapat mengerti keseluruhan makna lagu yang tersebut. Tapi sekali lagi, “healing” bukan hanya seremeh mendengarkan lagu indie kemudian kesehatan mental dapat pulih begitu saja.

Selain berkarya dengan menjual istilah self-healing, banyak musisi yang mengaku mengalami gangguan kesehatan mental agar terlihat keren. Nadin Amizah salah satunya. Ia sempat menjadi trending lantaran cuitannya di salah satu media sosial yang dianggap melakukan over glorifikasi terhadap gangguan kesehatan mental. Dalam sebuah post, dengan bangga dia menuliskan, “Your girlfriend. Your mentally unstable girlfriend” sebagai captionnya. Tak ayal ia menjadi korban jempol tajam beberapa warganet yang melayangkan cibiran kepadanya.

Bukan hanya self-healing, ada beberapa kata atau istilah turunannya yang viral di media sosial namun tidak sesuai penggunaannya. Kini gangguan kesehatan mental semacam depresi, Obsessive Compulsive Disorder (OCD), introvert, bipolar, dan gangguan lainnya malah seolah diinginkan dan banyak diglorifikasi oleh banyak anak muda. Kerap, secara sengaja mereka memperlihatkan gejala gangguan mental ini benar ada pada diri mereka agar terlihat bahwa mereka memang memiliki gangguan itu. Saking entengnya, seorang kawan saya mengaku mengalami depresi sesaat setelah menonton drakor “It’s Okay That’s Love”. Padahal untuk menegakkan diagnosa bahwa seseorang mengalami depresi membutuhkan proses yang banyak dan lama. Penyembuhannya pun membutuhkan proses yang kurang lebih sama banyaknya.

Sama halnya dengan proses penyembuhan penyakit lainnya, penyembuhan gangguan kesehatan mental membutuhkan waktu, fokus, dan konsistensi dari orang yang melakukannya. Prosesnya pun tidak seenteng melihat oppa ganteng di drakor. Ia memerlukan bimbingan profesional serta dukungan dari orang–orang terdekat kita. Dan yang terpenting adalah, self-healing dilakukan hanya jika benar–benar dibutuhkan.

Self-healing adalah ketika kita bisa mengatur apa yang ada di dalam diri. Untuk membantu diri menjadi jauh lebih produktif, dan agar kita bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Self-healing tidak hanya membuat diri kita senang, tapi membuat kita dapat terlepas dari gangguan kesehatan mental yang kita alami.

Membuat over glorifikasi terhadap istilah kesehatan mental adalah hal yang merugikan dan berbahaya. Dengan seenaknya menggunakan istilah atau mendiagnosa diri mengalami hal tersebut tanpa bantuan profesional, kita malah merampas lampu sorot dari orang–orang dan keluarganya yang benar–benar sedang berjuang dengan gangguan kesehatan mental yang diderita. Akibatnya, mereka yang mengalami hal ini menjadi lebih susah untuk mendapatkan pertolongan karena dianggap hanya ikut–ikutan tren dari over glorifikasi yang sedang berlangsung di masyarakat. Tumbuhkan empati pada diri kita agar tidak semakin mengecilkan posisi dari orang yang mengalami gangguan kesehatan mental.

Pada saat masyarakat mulai sadar akan pentingnya kesehatan mental, media seharusnya mengimbangi dengan menyampaikan informasi yang akurat. Hal tersebut perlu untuk dilakukan agar tak memunculkan miskonsepsi dan over glorifikasi. Selain media, para penyintas dan keluarga yang mendampingi orang dengan kesehatan mental hendaknya dapat menggiring pola pikir yang baru di masyarakat dengan menanamkan bahwa gangguan mental harus dipandang secara bijaksana dan bukan sesuatu yang keren, apalagi dengan berpura–pura atau mengaku untuk mengalaminya.

Rasa lelah akibat bekerja tidak membuat Anda serta merta harus melakukan self-healing. Butuh seseorang yang memang terdidik dan terlatih secara akademik untuk mendiagnosa dan membimbing Anda melakukannya jika memang dibutuhkan. Metodenya pun harus dengan referensi berbasis bukti. Intinya, healing itu tidak cukup hanya dengan melihat foto oppa atau mendengar lagu Yura Yunita saja.

Penulis :




Loading