Apapun Jualannya, Syariah Labelnya

(Photo by Mihai Surdu on Unsplash)

Melihat jama’ah yang hadir pada acara tablig akbar salah satu dai yang cukup kondang di tanah Bugis tadi di kampus IAIN Parepare, saya optimis. Animo masyarakat akademis ternyata masih cukup tinggi untuk menghadiri majelis ilmu. Mahasiswa berdatangan tanpa disuruh. Biasanya mereka enggan untuk hadir dalam forum-forum seminar, workshop, kuliah umum dan semacamnya tanpa kompensasi. Minimal dihadirkan pada absen perkuliahan. Entah dosen mata kuliahnya juga mau hadir pada acara tersebut, atau sekedar formalitas kebijakan kampus. Pokoknya, kursi forum harus terlihat penuh, supaya acara kelihatan sukses. Sukses?

Iya, sukses. Sukses dalam fikiran kebanyakan makhluk akademis saat ini hanya terkait kuantitas. Mahasiswa pengurus organisasi setiap tahun akademik berlomba-lomba menarik minat para mahasiswa baru untuk memasuki organisasi yang sama dengan mereka, atau minimal mengajak untuk mengikuti kegiatan orientasi yang menurut pandangan subjektif saya tidak lebih dari acara rekreasi.

Ukuran kesuksesan ada pada jumlah peserta yang mendaftar. Materi yang disajikan biasanya adalah materi yang sudah peserta dapatkan. Boro-boro membahas tentang output atau outcome kegiatan. Tidak jauh berbeda dengan keadaan kegiatan ilmiah untuk mahasiswa yang diselenggarakan oleh pihak kampus. Sekali lagi, yang penting ruangan penuh, yang penting absen penuh. Apakah materinya dipahami,  memberikan tambahan wawasan kepada mahasiswa atau tidak, bukan menjadi persoalan. Tak jarang forum seperti yang saya sebutkan tadi hanya menyisakan sampah air gelas dan kotak kue kemasan pada akhir kegiatan. Tapi saya hanya berbicara tentang apa yang terjadi di sekitar saya. Mungkin berbeda di tempat Anda.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kuantitas bukanlah hal yang penting. Kuantitas dan kualitas sama pentingnya. Kuantitas menghendaki kualitas, kualitas takkan ada tanpa kuantitas. Thus, back to fenomena membludaknya jama’ah tabligh akbar tadi, rasanya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa acara tersebut termasuk salah satu acara yang terbilang sukses. Tentunya kesimpulan itu juga memakai standar kuantitas, untuk sementara. Karena kualitas akan terlihat ketika subtansi kebaikan yang disampaikan mubalig tadi teraplikasikan dalam kehidupan peserta.  Namun bukan itu poin yang ingin saya sampaikan.

Kesuksesan acara tadi memperkuat hipotesis bahwa agama telah menjelma menjadi barang dagangan yang paling laris atau bisnis paling menjanjikan. Segala sesuatu yang disandarkan atas nama agama pasti laku keras di pasaran. Pelabelan kata syar’i atau syari’ah untuk sebuah komoditi menjadi strategi marketing yang sangat tepat untuk meraup berlipat keuntungan. Maka tidak usah heran ketika di sektor ekonomi makro, lembaga-lembaga finansial semakin banyak yang menawarkan menu syariah. Mulai dari perbankan, pegadaian, leasing, pasar modal, asuransi, klinik kecantikan, hotel, bahkan yang paling mutakhir adalah wacana tentang pengembangan pariwisata syariah. Tiada yang salah dari fenomena ini. Karena dalam Islam sendiri, terdapat sebuah kaidah muamalah yang membolehkan segala sesuatu, dengan catatan tidak ada dalil nash yang jelas mengharamkannya.

Terlepas dari legalitas penyematan istilah syariah yang marak terjadi belakangan, terdapat beberapa hal yang patut menjadi perhatian. Yang pertama adalah menjawab pertanyaan mengapa hal-hal yang berbau agama bisa menjadi sesuatu yang sangat seksi untuk dijual? Jawabannya adalah karena semua orang ingin bahagia. Plato dalam tulisannya tentang Georgias menyebutkan bahwa kebahagiaan seseorang terletak pada kemampuannya untuk mewujudkan hal yang ia inginkan, apapun bentuknya. Sedangkan agama merupakan produk kebudayaan yang dicipta manusia sebagai salah satu alat kontrol untuk tetap berada pada jalur menuju kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang bersumber dari kebaikan. Fiddunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, tidak hanya bahagia di dunia- tetapi juga di akhirat. Jadi orang-orang yang menginginkannya pastilah harus mengikuti ketentuan agama. Harus sesuai syariah. Paling aman ya dengan menggunakan produk syariah. “Yang pake nama syariah kan sudah pasti syariah, namanya juga syariah”.

Produk yang berbau agama laku keras di pasaran selanjutnya karena kurangnya minat rata-rata manusia Indonesia dalam membaca. Mereka lebih suka menonton TV atau Youtube daripada menghabiskan waktu membaca sebuah buku. Menurut data yang dilansir UNESCO tentang The Most Littered Nation in The World pada tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 sampel negara. Meskipun data ini kemudian dibantah oleh Nirwan Ahmad Arsuka, founder gerakan Pustaka Bergerak yang dirintis sejak tahun 2016 lalu, namun dia lebih lanjut memberikan keterangan bahwa sebenarnya yang terjadi di Indonesia bukan murni kurangnya minat masyarakat dalam membaca, namun karena minimnya akses bacaan yang sampai kepada masyarakat.

Lalu apa hubungan antara rendahnya minat baca dengan tingginya animo masyarakat dalam mengkonsumsi produk yang berbau agama?

Masyarakat yang suka membaca, teks maupun konteks akan berfikir atau menganalisa terlebih dahulu sebelum memutuskan. Tidak langsung percaya bahwa nama atau label syariah sudah menjamin kesyariahan sesuatu. Fenomena ini justru sedikit meresahkan bagi saya. Saya fikir kalau ini terus menerus bergulir maka akan terjadi pendikotomian sesuatu yang tidak seharusnya dikotak-kotakkan. Sebagai contoh, adanya hotel syariah akan membuat hotel selainnya disebut hotel tidak syariah. Maka akan terjadi sebuah asumsi yang mengatakan bahwa hotel yang tidak syariah itu bertentangan atau minimal tidak sejalan dengan aturan-aturan agama (Islam). Padahal, belum tentu.

Overall, euforia masyarakat terhadap agama menjadi sebuah hal yang patut disyukuri bersama. Ramainya forum-forum pengajian, membludaknya jama’ah-jama’ah ta’lim seperti acara yang dihela di kampus tadi membuat saya optimis terhadap kemajuan peradaban yang lebih baik. Kita sudah punya semangatnya. Semangat untuk belajar demi mencapai bahagia. Asal jangan salah memilih guru saja!

Penulis :




Loading