28 Detik: Tidak Ada yang Singkat untuk Menjadi Sesuatu yang Menakjubkan
Di balik secangkir kopi, ada sebuah cerita panjang yang membuatnya sedap dan memikat. Cerita saat masih menjadi bibit, melalui berbagai mesin hingga akhirnya diantar ke mejamu. Tanpa cerita, minuman hitam itu tidak akan dapat ditemukan ke indahannya yang bertahan melewati zaman.
Dan, kita seperti kopi. Berproses, berjuang, berkorban. Semua demi keindahan pada akhir cerita. Kopi mengajarkan kita, tidak ada yang singkat untuk menjadi sesuatu yang menakjubkan.
28 Detik – Ifa Inziati
Unik. Yang saya rasakan saat membaca novel ini. Seperti halnya buku fiksi, novel ini tentu memiliki pemeran utama, namanya Candu Prasetya. Seorang barista yang akan membuat penikmat kopi kecanduan dengan hasil karyanya. Namun, uniknya adalah, cerita ini dituturkan oleh sebuah mesin espresso yang diberi nama Simoncelli yang ‘bekerja’ di kedai Kopi Kasep. Benda mati yang ‘hidup’ itu menceritakan seluruh kejadian yang terlihat dari jangkauannya di kedai tersebut.
Tentang Candu yang selalu mengajak Simoncelli mengobrol dan menyulut perdebatan, Winona yang energinya seolah tak pernah habis untuk bertengkar dengan Candu, Satrya yang selalu berusaha melerai tapi sia-sia, Sery yang senyumnya selalu mengembang tiap matanya bertemu mata Candu, dan Nino yang datar kayak tripleks. Candu memang beda dengan barista yang lain, itu karena … dia sama sekali tidak percaya bakat. “Saya lebih memiliki semangat daripada bakat,” ujarnya.
Semua jadi berubah sejak kemunculan Rohan, cewek SMA yang mengidap sinestesia tipe grapheme-to-color. Candu jatuh cinta padanya. Rohan, perempuan yang memiliki bakat dari lahir, dan dia menawarkan untuk menukar bakat itu dengan semangat Candu. Menukar bakat dengan semangat? Apa yang kamudian terjadi?
Namun tentu semuanya tak berjalan dengan lancar, konflik muncul berupa kesalahan konyol yang fatal saat Candu mengikuti NBT Nusantara Barista Tournament. Semua kacau, seisi kedai tak lagi sama, semua… berubah, karena Rohan.
Well, kisah cinta Candu dan Rohan memang menjadi salah satu hal utama di kisah ini. Namun saya tidak begitu menyetujui mereka, maksud saya, saya lebih menyukai sosok Sery. Dia diam-diam memandang Candu dengan senyumnya, yang matanya berkaca-kaca saat Candu mempersoalkan Rohan, yang tak pernah bias menolak apa pun yang ditawarkan Candu padanya. Perasaannya yang terpendam itu sangat halus dan indah, saya mengidolakannya.
Sama seperti film, untuk saya, jatuh cinta pada tokoh itu hal yang paling penting―selain jalan cerita. Bukan hanya pada tokoh pria (karena saya wanita) tapi juga tokoh perempuannya. Di novel pun begitu, ini tentu penilaian subjektif saya. Dalam novel 28 Detik saya tidak jatuh cinta pada sosok Rohan, tapi justru pada Sery.
28 detik sebenarnya merujuk pada cara Candu untuk menyiapkan kopinya. Untuk membuat 254 ml espresso, ia harus menarik tuas Simoncelli tepat dua puluh delapan detik. Dan dia selalu melakukannya tanpa timer, tanpa stopwatch, ajaibnya… selalu tepat! 28 Detik adalah novel yang ringan sekaligus menyenangkan. Asyik, unik, dan menggemaskan. Cocok jadi teman minum kopi atau berbaring santai di kasur tercinta.
Penulis :

Lahir di Muna Barat, 3 Februari 1996. Saat ini berprofesi sebagai editor naskah (freelance) di beberapa penerbit.